Sunday, December 25, 2011

IKAGI Reaksi Keras Beredarnya Gula Rafinasi
Kamis, 22/12/2011 | 11:29 WIB



SURABAYA – Temuan adanya gula rafinasi yang diperdagangkan sebagai gula konsumsi di pasar eceran, mendapat reaksi keras dari Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI). Mereka mendesak pemerintah agar bergerak cepat untuk menertibkan peredaran gula rafinasi sehingga tidak mengancam kelangsungan usaha tani.
Sekretaris Jenderal IKAGI, Adig Suwandhi mengatakan, masuknya gula rafinasi berbahan baku raw sugar di pasaran membuat persaingan dengan gula tebu menjadi tidak wajar. Pasalnya, raw sugar selama ini mendapatkan bea masuk 0%-5% dengan asumsi untuk taraf pengembangan dan berorientasi ekspor.
“Gula rafinasi yang diperdagangkan di pasaran harus dicari solusinya dan jangan biarkan berlarut-larut. Apabila itu dibiarkan tanpa solusi maka akan meningkatkan tensi petani tebu dan pabrik gula (PG) berbasis tebu karena mengancam kelangsungan usaha mereka,”ujar Adig di kantornya, Rabu (21/12).
Dia menambahkan, terjadinya rembesan sebagai bukti bahwa produksi gula rafinasi sudah berlebihan. Tendensi impor bahan baku hanya mengacu kapasitas terpasang sehingga selalu lebih besar dibanding kebutuhan industri penggunanya.
Oleh sebab itu, IKAGI menghimbau pada pihak-pihak terkait dengan rekomendasi dan ijin impor agar melihat secara obyektif kebutuhan riil di lapangan. Caranya dengan menyiasati kontrak pembelian gula rafinasi oleh industri makanan dan minuman.
“Klaim bocornya gula rafinasi oleh distributor yang sebenarnya hanya untuk melayani kegiatan pengolahan pangan rumah tangga dan industri kecil yang tidak memiliki akses ke pabrikan, itu semuanya tidak benar. Faktanya, sebagian besar kegiatan tersebut menggunakan gula lokal dengan alasan jauh lebih manis. Gula rafinasi digunakan sebagai substitusi ketika harganya lebih murah saja,” tutur Adig, yang juga menjabat sebagai Sekretari PTPN XI.
Adig menegaskan, secara de facto produksi gula eks tebu saat ini yang berkisar 2,1-2,3 juta ton lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi yang mencapai 2,7 juta ton. Sehingga masuknya gula rafinasi berpotensi membuat gula lokal tidak terserap pasar.
“Maka harus ada pengaturan dan sanksi tegas terhadap beredarnya gula rafinasi. Karena yang terjadi selama ini segmentasi gula rafinasi dan konsumsi masih relevan,”katanya.
Untuk meningkatkan produksi gula lokal, lanjut Adig, upaya yang harus dilakukan dengan introduksi varietas unggul, aplikasi bio kompos dan agro input secara tepat, penerapan precision agriculture, dan manajemen tebang-angkut yang menunjang keberhasilan teknologi pasca panen pada level budidaya (on farm).
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Perkebunan Jawa Timur, Samsul Arifin mengatakan, produksi gula di Jawa Timur tahun ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2010. Sampai bulan November tahun ini, produksi gula di Jawa Timur mencapai 1,48 juta ton dari sekitar 197 ribu hektar, lebih tinggi dari tahun 2010 yang mencapai 1,14 juta ton.
“Kebutuhan gula di Jawa Timur hanya sekitar 420 ribu ton per tahun, kebutuhan untuk industri makanan dan minuman sekitar 100 ribu ton, jadi produksi gula di Jawa Timur masih surplus,”katanya.
Tahun ini, Dinas Perkebunan Jawa Timur optimis produksi gula bisa mencapai 1,50 juta ton. Kemudian tahun depan ditargetkan produksi gula sebesar 1,3 juta ton dari 200 ribu hektar. m27
Sumber:
http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=4e18d87efd9065c06004a13b27b4fed8&jenis=e4da3b7fbbce2345d7772b0674a318d5

2 comments:

Icah Banjarmasin said...

Betul banget bang itu gula rafinasi perlu diberantas..aku sendiri beberapa kali kebeli gula itu..sip artikelnya nih bang.

Cosmos said...

Iya terima kasih komentarnya. Semoga yang berwenang menindak lanjuti apa apa yang sudah ditemukan dilapangan.