Kamis, 22/12/2011 | 11:29 WIB
SURABAYA
– Temuan adanya gula rafinasi yang diperdagangkan sebagai gula konsumsi
di pasar eceran, mendapat reaksi keras dari Ikatan Ahli Gula Indonesia
(IKAGI). Mereka mendesak pemerintah agar bergerak cepat untuk
menertibkan peredaran gula rafinasi sehingga tidak mengancam
kelangsungan usaha tani.
Sekretaris Jenderal
IKAGI, Adig Suwandhi mengatakan, masuknya gula rafinasi berbahan baku
raw sugar di pasaran membuat persaingan dengan gula tebu menjadi tidak
wajar. Pasalnya, raw sugar selama ini mendapatkan bea masuk 0%-5% dengan
asumsi untuk taraf pengembangan dan berorientasi ekspor.
“Gula
rafinasi yang diperdagangkan di pasaran harus dicari solusinya dan
jangan biarkan berlarut-larut. Apabila itu dibiarkan tanpa solusi maka
akan meningkatkan tensi petani tebu dan pabrik gula (PG) berbasis tebu
karena mengancam kelangsungan usaha mereka,”ujar Adig di kantornya, Rabu
(21/12).
Dia menambahkan, terjadinya rembesan
sebagai bukti bahwa produksi gula rafinasi sudah berlebihan. Tendensi
impor bahan baku hanya mengacu kapasitas terpasang sehingga selalu lebih
besar dibanding kebutuhan industri penggunanya.
Oleh
sebab itu, IKAGI menghimbau pada pihak-pihak terkait dengan rekomendasi
dan ijin impor agar melihat secara obyektif kebutuhan riil di lapangan.
Caranya dengan menyiasati kontrak pembelian gula rafinasi oleh industri
makanan dan minuman.
“Klaim bocornya gula
rafinasi oleh distributor yang sebenarnya hanya untuk melayani kegiatan
pengolahan pangan rumah tangga dan industri kecil yang tidak memiliki
akses ke pabrikan, itu semuanya tidak benar. Faktanya, sebagian besar
kegiatan tersebut menggunakan gula lokal dengan alasan jauh lebih manis.
Gula rafinasi digunakan sebagai substitusi ketika harganya lebih murah
saja,” tutur Adig, yang juga menjabat sebagai Sekretari PTPN XI.
Adig
menegaskan, secara de facto produksi gula eks tebu saat ini yang
berkisar 2,1-2,3 juta ton lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan
konsumsi yang mencapai 2,7 juta ton. Sehingga masuknya gula rafinasi
berpotensi membuat gula lokal tidak terserap pasar.
“Maka
harus ada pengaturan dan sanksi tegas terhadap beredarnya gula
rafinasi. Karena yang terjadi selama ini segmentasi gula rafinasi dan
konsumsi masih relevan,”katanya.
Untuk
meningkatkan produksi gula lokal, lanjut Adig, upaya yang harus
dilakukan dengan introduksi varietas unggul, aplikasi bio kompos dan
agro input secara tepat, penerapan precision agriculture, dan manajemen
tebang-angkut yang menunjang keberhasilan teknologi pasca panen pada
level budidaya (on farm).
Di tempat terpisah,
Kepala Dinas Perkebunan Jawa Timur, Samsul Arifin mengatakan, produksi
gula di Jawa Timur tahun ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2010.
Sampai bulan November tahun ini, produksi gula di Jawa Timur mencapai
1,48 juta ton dari sekitar 197 ribu hektar, lebih tinggi dari tahun 2010
yang mencapai 1,14 juta ton.
“Kebutuhan gula di
Jawa Timur hanya sekitar 420 ribu ton per tahun, kebutuhan untuk
industri makanan dan minuman sekitar 100 ribu ton, jadi produksi gula di
Jawa Timur masih surplus,”katanya.
Tahun ini,
Dinas Perkebunan Jawa Timur optimis produksi gula bisa mencapai 1,50
juta ton. Kemudian tahun depan ditargetkan produksi gula sebesar 1,3
juta ton dari 200 ribu hektar. m27
Sumber:
http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=4e18d87efd9065c06004a13b27b4fed8&jenis=e4da3b7fbbce2345d7772b0674a318d5
2 comments:
Betul banget bang itu gula rafinasi perlu diberantas..aku sendiri beberapa kali kebeli gula itu..sip artikelnya nih bang.
Iya terima kasih komentarnya. Semoga yang berwenang menindak lanjuti apa apa yang sudah ditemukan dilapangan.
Post a Comment