Komoditas bangkit dari keterpurukan
Emas dan minyak masih jadi aktor utama
Krisis ekonomi dunia memaksa hampir seluruh komoditas mengalami penurunan harga sejak pertengahan 2008. Kelesuan itu setidaknya masih terlihat pada kuartal I/2009.
Kemunduran kinerja perekonomian negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang merupakan konsumen energi terbesar dan Eropa menggerus permintaan bahan baku, sehingga harga komoditas pun jatuh.
Komoditas energi tersebut mencapai puncak harga pada Juli 2008 sekitar US$147 dan anjlok hampir 70% pada awal tahun ini menjadi sekitar US$41 per barel.
Pada pertengahan 2009, pasar komoditas kembali bergerak. Tipisnya potensi keuntungan di pasar-pasar lain akibat lambatnya pemulihan krisis telah mendorong investor masuk ke pasar komoditas sebagai target investasinya.
Dibuai mimpi potensi pemulihan ekonomi dunia pada 2010, mereka berharap 'memanen' investasinya pada saat permintaan global terhadap komoditas bahan baku pulih tahun depan.
Pasar komoditas bersama pasar saham memang bergerak 6-9 bulan lebih dulu dari realisasi pemulihan ekonomi. Hal itu menjadikan harga komoditas terlihat menguat sejak pertengahan tahun ini. Pada kuartal II/2009 lalu, harga minyak kembali merayap ke area US$60-US$70-an dari level terendah di US$32 per barel pada Desember 2008. Saat itu proyeksi analis terbang ke arah US$75 per barel yang bakal dicapai pada paruh kedua 2009.
Bagi Organisasi Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC), level harga US$75-US$80 per barel dianggap cukup nyaman.
Optimisme pemulihan ekonomi AS mempertahankan penguatan harga komoditas itu hingga menjelang akhir tahun di tengah bayang-bayang pelemahan dolar AS untuk jangka panjang. Harga minyak yang sempat terkoreksi di bawah US$70 per barel menyusul mencuatnya kasus Dubai World perlahan berhasil pulih. Dalam hampir sepekan terakhir menjelang tutup tahun, harga kontrak minyak kembali merayap mendekati level US$80 per barel.
Seiring dengan pergerakan harga minyak tersebut, harga kontrak emas pun ikut terkerek. Emas yang merupakan instrumen investasi lindung nilai dari ancaman inflasi merupakan alternatif yang menggiurkan karena dinilai sangat likuid.
Emas mulai menunjukkan penguatan pada Februari 2009 dan masih mencetak rekor-rekor baru sepanjang masa. Pada saat harga minyak cenderung stabil, investor emas berhasil mendapat keuntungan dari pelemahan dolar AS. Meski berfluktuasi seiring pergerakan harga minyak mentah dan dolar AS, harga emas sempat mendekati level tertingginya di area US$1.200 per ounce.
Pelepasan emas milik Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 200 ton kepada Pemerintah India juga ikut mendongkrak prospek permintaan terhadap komoditas tersebut.
Sepanjang tahun ini harga kontrak berjangka logam mulia itu tercatat naik 26%. Kepemilikan emas di SPDR Gold Trust, perusahaan pendanaan yang didukung oleh logam mulia itu, menunjukkan angka 1.132,71 ton sejak 24 Desember.
Menjelang akhir tahun emas sepertinya akan mantap meninggalkan level support kunci itu dengan potensi pergerakan jangka pendek di kisaran US$1.198,30-US$1.200 per ounce.
Jika logam mulia itu berhasil memanfaatkan kekhawatiran ancaman inflasi sebagai pemicu permintaan dan penggerak harga, jenis logam industri seperti tembaga, seng, dan nikel 'diselamatkan' kenaikan volume impor dari China yang sebagian besar digunakan untuk memperkuat stok.
Tembaga yang sering digunakan sebagai petunjuk perkembangan sektor industri seperti perumahan dan otomotif sampai dengan 30 Desember ditransaksikan naik menjadi US$7.366 per ton, level tertinggi dalam 16 bulan terakhir. Kenaikan harga logam itu dipengaruhi ancaman pasokan tembaga dari Chile yang merupakan produsen terbesar di dunia.
Komoditas pertanian
Pergerakan harga minyak yang bergerak relatif stabil sepanjang 2009, juga membawa efek positif di komoditas pertanian. Setidaknya peringatan dari Organisasi Pertanian dan Pangan (FAO) tentang bahaya dari persaingan pemanfaatan komoditas pertanian untuk bahan makanan dengan energi ternyata tidak setajam 2008.
Sejak mencapai puncak harga pada 2008, komoditas pertanian turun ke level sebelum krisis ekonomi dunia sebagai dampak perbaikan pasokan di hampir seluruh produk. Meski demikian, harga pangan saat ini dinilai sulit dijangkau sebagian penduduk di dunia yang menurut perhitungan FAO mencapai 1,02 miliar orang yang merupakan jumlah tertinggi sejak 1975.
Beras, misalnya, rata-rata diperdagangkan di kisaran US$560 per ton sepanjang 6 bulan pertama 2009 lebih rendah dari rekor April-Mei 2008 sekitar US$900 per ton. Namun, posisi harga tersebut masih dua kali lipat dibandingkan dengan posisi pada beberapa periode sebelumnya.
Sementara itu, komoditas pertanian yang banyak berhubungan dengan harga minyak adalah minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Komoditas tropis tersebut sampai saat ini menjadi bahan baku minyak makan paling murah di dunia, tetapi kemampuannya sebagai pengganti biofuel yang paling ekonomis di antara produk lain menjadikan CPO rentan terhadap pergerakan harga minyak.
Harga CPO tertinggi sepanjang tahun ini sekitar US$753,17 per ton dan rata-rata sampai dengan 11 Desember US$646,4. Adapun harga CPO pengiriman Maret sekitar RM2.590 atau setara dengan US$754 per ton pada 30 Desember.
Selain itu, harga CPO di pasar internasional juga banyak dipengaruhi pergerakan kontrak kedelai, pesaing utama komoditas itu sebagai bahan baku biodiesel. Indonesia sempat 'dikejutkan' dengan lonjakan harga tahu dan tempe, dua makanan sehari-hari masyarakat, pada 2008.
Pada Januari-Mei harga kedelai sekitar US$416 per ton atau 27% lebih rendah dari posisi 2008. Harga komoditas meningkat dua kali lipat sejak 1999 sekitar US$4,697 per bushel menjadi US$10,39 per bushel pada 30 Desember.
Stabilitas harga minyak juga membawa berkah bagi pelaku pasar di kontrak karet alam. Karet alam rata-rata mencapai US$1,54 per kg sepanjang Januari-Mei atau 45% lebih rendah dari posisi pada periode yang sama tahun lalu.
Konsumsi karet sepanjang 2008 mencapai 9,6 juta ton lebih rendah dari 2007 yang masih 9,9 juta ton dengan kenaikan stok sekitar 10%. Sepanjang 2009 diproyeksikan sekitar US$1,5 per kg dan US$1,6 per kg pada tahun depan.
Gula yang merupakan bahan pemanis makanan utama di dunia juga sering dihubungkan dengan pergerakan harga komoditas energi. Bagi produsen dan investor, harga gula cukup menjanjikan pada tahun ini dan 2010 menyusul kekhawatiran kecukupan pasokan global.
Harga gula kristal putih atau rafinasi bahkan melonjak ke level tertinggi dalam 20 tahun terakhir terpicu isu defisit pasokan menyusul gangguan produksi di Brasil dan India, dua negara produsen utama bahan pemanis tersebut. Risiko defisit menyebabkan harga gula naik sekitar dua kali lipat pada tahun ini.
Nilai kontrak gula putih di bursa Liffe London ditransaksikan menguat ke level US$699,80 per ton pada 29 Desember. Di New York, gula kasar pengiriman Maret ditransaksikan naik 0,7% menjadi US$0,27 per pound (1 pound setara dengan 0,45 kg)
Kemunduran kinerja perekonomian negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang merupakan konsumen energi terbesar dan Eropa menggerus permintaan bahan baku, sehingga harga komoditas pun jatuh.
Komoditas energi tersebut mencapai puncak harga pada Juli 2008 sekitar US$147 dan anjlok hampir 70% pada awal tahun ini menjadi sekitar US$41 per barel.
Pada pertengahan 2009, pasar komoditas kembali bergerak. Tipisnya potensi keuntungan di pasar-pasar lain akibat lambatnya pemulihan krisis telah mendorong investor masuk ke pasar komoditas sebagai target investasinya.
Dibuai mimpi potensi pemulihan ekonomi dunia pada 2010, mereka berharap 'memanen' investasinya pada saat permintaan global terhadap komoditas bahan baku pulih tahun depan.
Pasar komoditas bersama pasar saham memang bergerak 6-9 bulan lebih dulu dari realisasi pemulihan ekonomi. Hal itu menjadikan harga komoditas terlihat menguat sejak pertengahan tahun ini. Pada kuartal II/2009 lalu, harga minyak kembali merayap ke area US$60-US$70-an dari level terendah di US$32 per barel pada Desember 2008. Saat itu proyeksi analis terbang ke arah US$75 per barel yang bakal dicapai pada paruh kedua 2009.
Bagi Organisasi Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC), level harga US$75-US$80 per barel dianggap cukup nyaman.
Optimisme pemulihan ekonomi AS mempertahankan penguatan harga komoditas itu hingga menjelang akhir tahun di tengah bayang-bayang pelemahan dolar AS untuk jangka panjang. Harga minyak yang sempat terkoreksi di bawah US$70 per barel menyusul mencuatnya kasus Dubai World perlahan berhasil pulih. Dalam hampir sepekan terakhir menjelang tutup tahun, harga kontrak minyak kembali merayap mendekati level US$80 per barel.
Seiring dengan pergerakan harga minyak tersebut, harga kontrak emas pun ikut terkerek. Emas yang merupakan instrumen investasi lindung nilai dari ancaman inflasi merupakan alternatif yang menggiurkan karena dinilai sangat likuid.
Emas mulai menunjukkan penguatan pada Februari 2009 dan masih mencetak rekor-rekor baru sepanjang masa. Pada saat harga minyak cenderung stabil, investor emas berhasil mendapat keuntungan dari pelemahan dolar AS. Meski berfluktuasi seiring pergerakan harga minyak mentah dan dolar AS, harga emas sempat mendekati level tertingginya di area US$1.200 per ounce.
Pelepasan emas milik Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 200 ton kepada Pemerintah India juga ikut mendongkrak prospek permintaan terhadap komoditas tersebut.
Sepanjang tahun ini harga kontrak berjangka logam mulia itu tercatat naik 26%. Kepemilikan emas di SPDR Gold Trust, perusahaan pendanaan yang didukung oleh logam mulia itu, menunjukkan angka 1.132,71 ton sejak 24 Desember.
Menjelang akhir tahun emas sepertinya akan mantap meninggalkan level support kunci itu dengan potensi pergerakan jangka pendek di kisaran US$1.198,30-US$1.200 per ounce.
Jika logam mulia itu berhasil memanfaatkan kekhawatiran ancaman inflasi sebagai pemicu permintaan dan penggerak harga, jenis logam industri seperti tembaga, seng, dan nikel 'diselamatkan' kenaikan volume impor dari China yang sebagian besar digunakan untuk memperkuat stok.
Tembaga yang sering digunakan sebagai petunjuk perkembangan sektor industri seperti perumahan dan otomotif sampai dengan 30 Desember ditransaksikan naik menjadi US$7.366 per ton, level tertinggi dalam 16 bulan terakhir. Kenaikan harga logam itu dipengaruhi ancaman pasokan tembaga dari Chile yang merupakan produsen terbesar di dunia.
Komoditas pertanian
Pergerakan harga minyak yang bergerak relatif stabil sepanjang 2009, juga membawa efek positif di komoditas pertanian. Setidaknya peringatan dari Organisasi Pertanian dan Pangan (FAO) tentang bahaya dari persaingan pemanfaatan komoditas pertanian untuk bahan makanan dengan energi ternyata tidak setajam 2008.
Sejak mencapai puncak harga pada 2008, komoditas pertanian turun ke level sebelum krisis ekonomi dunia sebagai dampak perbaikan pasokan di hampir seluruh produk. Meski demikian, harga pangan saat ini dinilai sulit dijangkau sebagian penduduk di dunia yang menurut perhitungan FAO mencapai 1,02 miliar orang yang merupakan jumlah tertinggi sejak 1975.
Beras, misalnya, rata-rata diperdagangkan di kisaran US$560 per ton sepanjang 6 bulan pertama 2009 lebih rendah dari rekor April-Mei 2008 sekitar US$900 per ton. Namun, posisi harga tersebut masih dua kali lipat dibandingkan dengan posisi pada beberapa periode sebelumnya.
Sementara itu, komoditas pertanian yang banyak berhubungan dengan harga minyak adalah minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Komoditas tropis tersebut sampai saat ini menjadi bahan baku minyak makan paling murah di dunia, tetapi kemampuannya sebagai pengganti biofuel yang paling ekonomis di antara produk lain menjadikan CPO rentan terhadap pergerakan harga minyak.
Harga CPO tertinggi sepanjang tahun ini sekitar US$753,17 per ton dan rata-rata sampai dengan 11 Desember US$646,4. Adapun harga CPO pengiriman Maret sekitar RM2.590 atau setara dengan US$754 per ton pada 30 Desember.
Selain itu, harga CPO di pasar internasional juga banyak dipengaruhi pergerakan kontrak kedelai, pesaing utama komoditas itu sebagai bahan baku biodiesel. Indonesia sempat 'dikejutkan' dengan lonjakan harga tahu dan tempe, dua makanan sehari-hari masyarakat, pada 2008.
Pada Januari-Mei harga kedelai sekitar US$416 per ton atau 27% lebih rendah dari posisi 2008. Harga komoditas meningkat dua kali lipat sejak 1999 sekitar US$4,697 per bushel menjadi US$10,39 per bushel pada 30 Desember.
Stabilitas harga minyak juga membawa berkah bagi pelaku pasar di kontrak karet alam. Karet alam rata-rata mencapai US$1,54 per kg sepanjang Januari-Mei atau 45% lebih rendah dari posisi pada periode yang sama tahun lalu.
Konsumsi karet sepanjang 2008 mencapai 9,6 juta ton lebih rendah dari 2007 yang masih 9,9 juta ton dengan kenaikan stok sekitar 10%. Sepanjang 2009 diproyeksikan sekitar US$1,5 per kg dan US$1,6 per kg pada tahun depan.
Gula yang merupakan bahan pemanis makanan utama di dunia juga sering dihubungkan dengan pergerakan harga komoditas energi. Bagi produsen dan investor, harga gula cukup menjanjikan pada tahun ini dan 2010 menyusul kekhawatiran kecukupan pasokan global.
Harga gula kristal putih atau rafinasi bahkan melonjak ke level tertinggi dalam 20 tahun terakhir terpicu isu defisit pasokan menyusul gangguan produksi di Brasil dan India, dua negara produsen utama bahan pemanis tersebut. Risiko defisit menyebabkan harga gula naik sekitar dua kali lipat pada tahun ini.
Nilai kontrak gula putih di bursa Liffe London ditransaksikan menguat ke level US$699,80 per ton pada 29 Desember. Di New York, gula kasar pengiriman Maret ditransaksikan naik 0,7% menjadi US$0,27 per pound (1 pound setara dengan 0,45 kg)
Sumber:
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/bursa/1id1b53580.html
No comments:
Post a Comment