Posted in Ekonomi & Keuangan by Redaksi on Desember 10th, 2009
Jakarta (SIB)
Pemerintah dinilai salah perhitungan dan gegabah soal neraca dan penataan gula sehingga kekurangan dalam jumlah cukup besar dan harus mengimpor gula putih sampai 500.000 ton mulai Januari 2010. Pemerintah merasa powerfull dan berkuasa sehingga mengabaikan pemangku kepentingan. Akibatnya pun fatal.
Ketua Asosiasi Pedagang Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Natsir Mansyur kepada SP di Jakarta, Selasa (8/12), mengemukakan, kecerobohan dalam perhitungan neraca pergulaan mengakibatkan bahaya. Indonesia harus mengimpor, padahal gula di pasar internasional tidak banyak dan harganya meraup naik, bisa mencapai Rp 15.000/kg di awal 2010.
Stok gula nasional di akhir tahun 2009, menurut Natsir, seharusnya minimal satu juta ton, sehingga bisa untuk cadangan tahun berikutnya sambil menunggu musim giling tebu. Januari-April biasanya tidak ada giling. Namun, sampai Desember ini, diperkirakan stok nasional hanya sekitar 400.000 ton atau defisit 500.000 sampai 600.000 ton.
“Pertengahan tahun 2009 kami sudah mengingatkan, tapi Deputi Menko Perekonomian Bayu Krisnamurthi tetap bersikukuh produksi gula dalam negeri cukup dan stok aman. Kenyataannya stok anjlok, dan mau mengimpor juga sulit, karena stok dunia menipis. Harga pun sulit di kendalikan, sekarang sudah mencapai Rp9.000 per kilogram,” ujarnya.
MUSIM GILING
Sementara itu, Ketua Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Abdul Wachid mengatakan, pihaknya memahami rencana pemerintah mengimpor gula karena stok di dalam negeri menipis. Namun, dia mengingatkan, impor gula harus sesuai kebutuhan dan dihentikan akhir April 2010 karena Mei sudah masuk musim giling tebu di seluruh Tanah Air.
Jika pemerintah tetap membiarkan impor gula sampai Mei 2010, katanya, harga gula di dalam negeri akan anjlok, sehingga petani dan pabrik-pabrik gula mengalami kerugian. Petani pun tak lagi bergairah menanam tebu. Hal ini pernah terjadi pada 2008, ketika gula rafinasi impor untuk industri dibiarkan masuk ke pasar domestik dan menjatuhkan harga.
“Jatuhnya harga membuat petani enggan menanam tebu. Akibatnya, produksi gula nasional pada 2009 anjlok, tidak sesuai target. Kita harus serius mencanangkan swasembada gula. Semua pihak harus berkomitmen. Kalau tidak, maka selamanya kita akan bergantung pada impor dan didikte negara produsen,” tutur Abdul Wachid. (SP/y)
Ketua Asosiasi Pedagang Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Natsir Mansyur kepada SP di Jakarta, Selasa (8/12), mengemukakan, kecerobohan dalam perhitungan neraca pergulaan mengakibatkan bahaya. Indonesia harus mengimpor, padahal gula di pasar internasional tidak banyak dan harganya meraup naik, bisa mencapai Rp 15.000/kg di awal 2010.
Stok gula nasional di akhir tahun 2009, menurut Natsir, seharusnya minimal satu juta ton, sehingga bisa untuk cadangan tahun berikutnya sambil menunggu musim giling tebu. Januari-April biasanya tidak ada giling. Namun, sampai Desember ini, diperkirakan stok nasional hanya sekitar 400.000 ton atau defisit 500.000 sampai 600.000 ton.
“Pertengahan tahun 2009 kami sudah mengingatkan, tapi Deputi Menko Perekonomian Bayu Krisnamurthi tetap bersikukuh produksi gula dalam negeri cukup dan stok aman. Kenyataannya stok anjlok, dan mau mengimpor juga sulit, karena stok dunia menipis. Harga pun sulit di kendalikan, sekarang sudah mencapai Rp9.000 per kilogram,” ujarnya.
MUSIM GILING
Sementara itu, Ketua Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Abdul Wachid mengatakan, pihaknya memahami rencana pemerintah mengimpor gula karena stok di dalam negeri menipis. Namun, dia mengingatkan, impor gula harus sesuai kebutuhan dan dihentikan akhir April 2010 karena Mei sudah masuk musim giling tebu di seluruh Tanah Air.
Jika pemerintah tetap membiarkan impor gula sampai Mei 2010, katanya, harga gula di dalam negeri akan anjlok, sehingga petani dan pabrik-pabrik gula mengalami kerugian. Petani pun tak lagi bergairah menanam tebu. Hal ini pernah terjadi pada 2008, ketika gula rafinasi impor untuk industri dibiarkan masuk ke pasar domestik dan menjatuhkan harga.
“Jatuhnya harga membuat petani enggan menanam tebu. Akibatnya, produksi gula nasional pada 2009 anjlok, tidak sesuai target. Kita harus serius mencanangkan swasembada gula. Semua pihak harus berkomitmen. Kalau tidak, maka selamanya kita akan bergantung pada impor dan didikte negara produsen,” tutur Abdul Wachid. (SP/y)
Sumber:
http://hariansib.com/?p=102271
No comments:
Post a Comment