Thursday, December 31, 2009

Disparitas harga masih tinggi

Kamis, 31/12/2009
Disparitas harga masih tinggi
Pemerintah sering gunakan kebijakan ad hoc

Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi selama tahun ini relatif rendah yakni hanya 2,45%. Artinya, kenaikan harga seluruh barang dan jasa selama tahun ini juga rendah.

Memang, harga barang kebutuhan pokok sepanjang tahun ini relatif stabil dibandingkan dengan tahun lalu. Minyak goreng misalnya, stabil di level Rp8.000-an per kg, berbeda dengan tahun lalu mencapai Rp12.000 per liter.

Demikian juga dengan harga beras, yang hanya naik 5% menjelang Idulfitri dan akhir tahun ini.

Namun, stabilitas harga bahan kebutuhan pokok lebih disebabkan kondisi global yang mengalami resesi ekonomi sehingga berpengaruh pada penurunan permintaan dan turunnya harga produk-produk ekspor.

Nyaris pemerintah mampu meredam gejolak harga kebutuhan pokok sepanjang tahun ini kecuali beberapa jenis produk, seperti daging dan gula yang melonjak cukup tinggi.

Harga gula selama 2008 masih Rp6.000 an per kg dan mulai bergerak naik sejak awal tahun ini menjadi Rp6.650 per kg. Lalu, harga gula terus bergerak naik, bahkan semakin liar hingga tembus di atas Rp10.000 per kg. Padahal, biaya pokok produksi komoditas tersebut hanya Rp5.100 per kg.

Pemerintah pun berupaya meredam kenaikan harga gula melalui berbagai kebijakan seperti operasi pasar menjelang hari raya keagamaan. Bahkan, pemerintah sempat mematok harga lelang gula PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara (RNI) maksimal Rp6.500 per kg.

Namun, kebijakan penetapan harga lelang gula tersebut tidak berjalan, karena PTPN dan RNI tidak dapat melaksanakan imbauan pemerintah, hingga akhirnya tarif bea masuk gula pun diturunkan dengan harapan harga gula yang diimpor bisa turun. Pemerintah menurunkan tarif bea masuk untuk periode Oktober-Desember 2009 baik untuk gula rafinasi maupun gula kristal putih.

Bea masuk gula rafinasi turun 49,4% menjadi Rp400 per kg dari sebelumnya Rp790 per kg dan BM gula mentah turun 72% dari Rp550 per kg menjadi Rp150 per kg.

Namun, harga gula terus bergerak naik. Ditambah lagi pasokan yang ada tidak mencukupi untuk kebutuhan hingga Mei 2009 (saat berada di luar musim giling tebu). Akhirnya, pemerintah memutuskan impor GKP sebanyak 500.000 ton pada periode Januari-15 April 2010.

Kasus gula ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak memiliki perencanaan yang matang, sehingga selalu mengeluarkan kebijakan yang bersifat sementara (ad hoc) yang justru menyebabkan aksi spekulasi dan menyebabkan harga gula di dalam negeri semakin melambung.

Direktur Utama PT Kencana Gula Manis Hatanto Reksodipoetro mengatakan pemerintah tidak memiliki data yang akurat soal gula di dalam negeri. Padahal, pemerintah dapat mendata produksi gula dari PTPN dan RNI secara akurat.

Menurut Hatanto yang juga mantan Sekjen Depdag, terdapat dua persoalan di sektor perdagangan yaitu kenaikan harga tidak selamanya di tangan para pedagang tetapi bisa juga disebabkan faktor dari luar (external factor) seperti inflasi dan kenaikan harga di luar negeri atau nilai tukar rupiah.

Faktor lainnya, adalah lingkungan yang perlu ditangani. Suatu sektor pemerintah seringkali merupakan akibat dari kebijakan sektor pemerintah lainnya.

Belum lagi masalah klasik yang selalu menjadi alasan pemerintah, yakni kondisi geografis berbentuk kepulauan dinilai menjadi penyebab disparitas harga produk yang cukup tinggi antara satu tempat dan tempat lainnya.

Bahkan program interkoneksi tersebut masuk ke dalam program seratus hari pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Berkali-kali Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan akan membenahi sistem distribusi dan logistik serta efisiensi transportasi melalui cetak biru logistik yang akan segera diselesaikan.

Kelancaran arus barang akan terwujud jika sektor usaha distribusi dapat berkembang. Jika ada sistem pasar nasional yang baik, niscaya perbedaan harga barang produk dari Sabang sampai Merauke tidak akan terlampau tinggi seperti saat ini, sehingga akan membantu menstabilkan harga.

Perlindungan pasar

Indonesia memiliki pasar yang besar dan potensial, sehingga menjadi incaran negara lain untuk memasukkan produknya ke pasar dalam negeri.

Berbagai faktor yang memengaruhi produk lokal menjadi lebih mahal maupun kalah berkualitas dengan produk impor, sehingga diperlukan instrumen untuk melindungi produk lokal.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah agar membentuk badan independen yang melindungi produk lokal dengan menggunakan berbagai instrumen yang dibolehkan dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Instrumen lain yang dapat digunakan untuk melindungi produk lokal dari serbuan produk impor melalui penerapan standar nasional Indonesia (SNI) sebagai hambatan nontarif seperti halnya negara lain.

Hanya saja produk impor masih menjadi ancaman serius baik yang legal maupun produk selundupan, yang terkait dengan pengawasan.

Masalahnya minimnya dana membuat pengawasan tidak optimal. Dinas-dinas perdagangan di daerah hanya melakukan pengawasan menjelang hari raya keagamaan dan menjelang tahun baru.

Seorang Kepala Dinas di daerah mengeluhkan terbatasnya anggaran pengawasan produk di pasaran, sehingga praktis hanya mengandalkan anggaran yang ada. Itu pun hanya sebatas formalitas, karena banyak temuan yang tidak ditindaklanjuti.

Karut-marutnya pergulaan nasional dan upaya efisiensi sitem distribusi yang jalan di tempat tentu akan semakin mengkhawatirkan daya saing produk lokal dalam berkompetisi dengan produk asing mengingat arus globalisasi semakin deras dan sudah menunggu di depan mata. (sepudin.zuhri@bisnis.co.id)

Oleh Sepudin Zuhri
Wartawan Bisnis Indonesia

Sumber:
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/perdagangan/1id153531.html

No comments: