SEMARANG (Suara Karya): Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI)
mendesak Kementerian Perdagangan (Kemendag) secepatnya menetapkan harga
pokok pembelian (HPP) gula tahun 2012. Hal ini seiring makin dekatnya
musim giling tebu.
"Para petani memerlukan kepastian HPP sebagai dasar menghitung
pendapatan serta pedoman pemberian dana talangan dari investor," kata
Wakil Sekjen DPN APTRI M Nur Khabsyin di Semarang, kemarin.
Menurut dia, musim giling tebu di Jawa tahun ini sudah akan bergulir
pada Mei nanti. Sebagian pabrik gula sudah ada yang mulai menggiling
tebu pada awal Mei, namun sebagian lainnya melakukan giling pada
pertengahan atau akhir Mei 2012.
Nur Khabsyin menyebutkan, HPP gula yang diusulkan APTRI sebesar Rp
9.218 per kilogram (kg). Perhitungannya, produksi tebu per hektare 1.100
kuintal rendemen 7,2 persen untuk jenis tanaman plane cane (tanaman
tebu pertama), menghasilkan HPP Rp 9.496 per kg. Sedangkan pada tanaman
kedua, ketiga, dan seterusnya (ratoon) dengan produksi tebu 900 kuintal
per ha dan rendemen 6,8 persen, maka akan menghasilkan besaran HPP Rp
8.941 per kg.
Hitung-hitungan tersebut, lanjutnya, sudah termasuk keuntungan petani
sebesar 10 persen. HPP yang diusulkan belum termasuk perkiraan kenaikan
ongkos produksi yang dipicu oleh rencana kenaikan bahan bakar minyak
(BBM). "Jadi, jika dirata-rata, HPP menjadi sebesar Rp 9.218 per
kilogram," tuturnya.
Dia mengakui, besaran HPP memang lebih tinggi dari usulan Dewan Gula
Indonesia (DGI) yang tercatat Rp 8.750 per kg. Akan tetapi, usulan
tersebut masih wajar lantaran PG sudah banyak yang tua sehingga hanya
memberi rendemen 7,2 persen. Apabila rendemen bisa mencapai rata-rata
8,5 persen, tentu besaran HPP bisa di bawah usulan. Apalagi saat ini
harga eceran gula cukup tinggi, yakni berkisar antara Rp 11.100 hingga
Rp 11.400 per kg.
Beredar
Di lain pihak, gula rafinasi kembali marak beredar di pasaran, salah
satunya ditemukan oleh Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen
(LP2K) Semarang, kemarin. Hasil temuan ini sangat disayangkan mengingat
gula rafinasi seharusnya untuk industri makanan dan minuman bukan untuk
dikonsumsi langsung masyarakat. "Di Kabupaten Kudus, kami masih
menemukan gula rafinasi beredar marak di pasar umum," tutur Ketua LP2K
Semarang Ngargono, Selasa (24/4).
Sesuai regulasi, menurutnya, gula rafinasi dengan harga jauh lebih
murah semestinya hanya untuk industri makanan dan minuman. Karena itu,
dia menyatakan perlunya pengawasan penyaluran yang lebih ketat terkait
peredaran gula tersebut agar tidak terjadi penyalahgunaan pemasaran.
Misalnya 100 ton gula rafinasi untuk industri, seharusnya juga diikuti
laporan berapa banyak gula yang terserap.
"Pelaporan itu penting guna mengantisipasi penyalahgunaan oleh industri
yang dengan sengaja membocorkan gula ke pasar umum demi meraup untung,"
ujar Ngargono. (Pudyo S)
3 comments:
mantef artikelnya abang.
manyef bang.
Terima kasih kunjungannya, semoga sehat selalu kawan. Saya hanya mengcopi artikel dari tempat lain, disini saya hanya ingin supaya informasi itu tersebar ke semua pembaca.
Itu aja tujuan saya. karena untuk mencari artikel dan berita itu kadang-kadang sulit.
Post a Comment