19 Desember 2011
Oleh Toto Subandriyo
RIBUAN petani tebu dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, serta Lampung, dan Medan yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) kembali berunjuk rasa di depan kantor Kementerian Perdagangan dan gedung DPR. Mereka menuntut pembatalan rencana impor 500 ribu ton gula untuk alokasi 2012, dan meminta pengusutan rembesan 400 ribu ton gula rafinasi di pasar serta 720 ribu ton gula selundupan asal Malaysia dan Thailand (SM, 15/12/11).
Para petani khawatir kebijakan impor gula makin menekan harga gula domestik. Mereka juga menuntut ditegakkannya Keppres Nomor 57 Tahun 2004 yang menetapkan bahwa gula berstatus barang dalam pengawasan. Selain itu mereka meminta agar izin baru pabrik gula rafinasi dihentikan dan bagi pabrik yang membocorkan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi ditindak tegas.
Tahun lalu petani tebu di Tanah Air menangis karena saat giling cuaca tidak bersahabat. Hujan turun sepanjang tahun sehingga berdampak pada anjloknya rendemen dan membengkaknya ongkos tebang angkut. Kini harapan membaiknya nasib mereka kembali pupus akibat membanjirnya gula rafinasi impor.
Sesuai ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/2004 tentang Tata Niaga Gula, gula rafinasi hanya diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman. Namun kenyataannya gula rafinasi banyak merembes ke pasar gula konsumsi bersaing dengan gula petani. Tentu ini tidak adil karena industri gula rafinasi telah dimanjakan dengan berbagai fasilitas dari pemerintah. Satu di antaranya adalah pembebasan bea masuk impor gula mentah sebagai bahan baku gula rafinasi.
Saat ini petani menerima dua pukulan telak. Pertama; karena penurunan produksi akibat cuaca ekstrem pada musim tanam 2010-2011 yang mencapai 30 persen. Pada situasi normal petani dapat memperoleh produksi tidak kurang dari 1.000 kuintal per hektare, namun karena hujan turun sepanjang tahun maka produksi turun menjadi rata-rata hanya 700 kuintal per hektare.
Kedua; harga lelang gula petani jeblok. Harga lelang gula petani pertengahan Juni lalu hanya Rp 7.760 per kilogram. Meski harga lelang kemudian menunjukkan kecenderungan peningkatan, angkanya masih di bawah harga lelang tahun lalu yang mencapai Rp 9.500. Penurunan harga lelang gula itu juga diikuti dengan anjloknya harga tetes tebu.
Jika kondisi itu dibiarkan, sudah dapat dipastikan asap dapur dari sekitar 3,5 juta petani tebu dan keluarganya terancam tidak lagi mengepul. Swasembada gula yang ditargetkan kembali tercapai pada 2014 sulit terealisasi. Lonceng kematian industri gula nasional berbasis tebu yang telah dibangun dengan susah payah hanyalah soal waktu.
Insentif Harga Jual
Faktor paling menentukan terhadap gairah petani tebu untuk meningkatkan produksi gula adalah insentif harga jual yang memadai. Kondisi itu hanya dapat diwujudkan jika pemerintah dapat menjamin harga jual gula petani tidak jatuh di bawah harga pokok produksi (HPP). Jika diasumsikan rendemen 6 persen maka menurut perhitungan HPP gula lokal berkisar Rp 8.700 per kilogram. Harga lelang Rp 7.760 tidak akan bisa menutup break even point, alias tekor..
Agar iklim usaha industri gula domestik kondusif maka bea masuk impor gula harus diterapkan progresif. Artinya, jika harga gula di pasar dunia turun atau saat berlangsungnya giling tebu petani, bea masuk harus dinaikkan secara signifikan. Sebaliknya, jika harga gula di pasar dunia naik dan berimbas pada kenaikan harga dalam negeri maka bea masuk impor gula diturunkan pada tingkat moderat.
Untuk mendongkrak rendemen maka modernisasi pabrik gula merupakan conditio sine qua non, sesuatu yang harus dilakukan. Program Revitalisasi Industri Gula 2010 - 2014 tidak akan memperoleh hasil optimal tanpa penggantian dan modernisasi mesin/ peralatan pabrik.
Untuk mencegah banjirnya gula rafinasi di pasaran umum, pemerintah harus segera melakukan audit secara serius untuk mengetahui apakah importir telah melakukan distribusi sesuai ketentuan. Jika ditemukan pelanggaran, pemerintah harus bertindak tegas. Izin usaha mereka jika perlu dibekukan.
Harus disadari bahwa kebijakan impor semua komoditas pangan, termasuk gula, harus ditempatkan sebagai bagian dari solusi dan strategi produksi nasional berkelanjutan, bukan upaya ad hoc, sekadar memadamkan kebakaran. Saatnya pemerintah menghapus stigma bahwa setiap ada impor gula selalu ada rente. (10)
— Toto Subandriyo, alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed
Sumber:
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/12/19/170497/10/Ada-Gula-Ada-Rente
No comments:
Post a Comment