Reporter : Oryza A. Wirawan
Jember (beritajatim.com) - Petani tebu di Jember menuntut adanya penerapan penghitungan rendemen secara individu, dan bukan secara hamparan atau kolektif. Rendemen secara hamparan hanya merugikan petani yang memiliki tebu berkualitas bagus.
Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat Marzuki Abdul Ghafur menyatakan, pabrik gula PT Perkebunan Nusantara 11 di Semboro masih menggunakan sistim hamparan. "Padahal di pabrik-pabrik wilayah barat (Jawa Timur) sudah menggunakan sistim rendemen individu," katanya.
Dengan sistim rendemen indvidu, maka petani akan berlomba-lomba menanam tebu sebaik-baiknya. Mereka yang menanam tebu dengan baik akan menuai rendemen bagus. Ini berarti produksi gula yang diterima lebih banyak daripada petani yang menggarap lahan asal-asalan dan menghasilkan rendemen rendah.
Sistim bagi hasil produksi gula sebenarnya memberikan penghargaan terhadap kualitas tebu dengan rendemen tinggi. Jika rendemen di bawah enam persen, maka bagi hasil produksi gula hasil penggilingan adalah 66 persen untuk petani, sisanya untuk pabrik. Jika rendemen antara 6 persen hingga di bawah tujuh persen, maka petani mendapat bagian 70 persen gula. Jika rendemen di atas tujuh persen, maka petani mendapat bagian 75 persen.
Namun, realitas di lapangan, rendemen tebu saat ini hanya enam persen. Artinya dari 100 kilogram tebu yang digiling hanya menghasilkan enam kilogram gula. "Padahal, rendemen tebu saya 10 persen," keluh Marzuki.
Marzuki membuat perbandingan dengan penggilingan tebu untuk produksi gula merah miliknya sendiri. "Kalau saya giling di pabrik gula Semboro, pendapatan kotor per hektare Rp 32 juta dengan rendemen 6, produksi seribu kuintal tebu per hektare. Kalau giling sendiri dengan jenis tebu 862, rendemen 10 persen. pendapatan Rp 62 juta," katanya.
Marzuki belum tahu alasan pabrik tetap memakai sistim rendemen hamparan. Ia sendiri sudah memperjuangkan penggunaan rendemen individu sejak 2009. "Mungkin ada kekhawatiran, petani yang menanam tebunya agak tak sesuai teknis akan lari. Tapi saya bilang ke Pak Administratur, kalau tidak menerapkan rendemen indvidu ini, petani tak akan berlomba-lomba dalam kebaikan," katanya.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Petani Tebu Rakyat Jember Moch. Ali Fikri mengatakan, rendemen saat ini enam persen. "Tapi produksi petani saat ini sedang jeblok, karena terjadi penurunan produksi 20-30 persen dibanding tahun lalu. Produksi tebu merosot, karena sinar matahari tidak maksimal, sehingga pertumbuhan tebu tak maksimal," katanya. [wir]
Sumber:
http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2011-07-02/104862/Petani_Tebu_Jember_Tuntut_Rendemen_Individu
Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat Marzuki Abdul Ghafur menyatakan, pabrik gula PT Perkebunan Nusantara 11 di Semboro masih menggunakan sistim hamparan. "Padahal di pabrik-pabrik wilayah barat (Jawa Timur) sudah menggunakan sistim rendemen individu," katanya.
Dengan sistim rendemen indvidu, maka petani akan berlomba-lomba menanam tebu sebaik-baiknya. Mereka yang menanam tebu dengan baik akan menuai rendemen bagus. Ini berarti produksi gula yang diterima lebih banyak daripada petani yang menggarap lahan asal-asalan dan menghasilkan rendemen rendah.
Sistim bagi hasil produksi gula sebenarnya memberikan penghargaan terhadap kualitas tebu dengan rendemen tinggi. Jika rendemen di bawah enam persen, maka bagi hasil produksi gula hasil penggilingan adalah 66 persen untuk petani, sisanya untuk pabrik. Jika rendemen antara 6 persen hingga di bawah tujuh persen, maka petani mendapat bagian 70 persen gula. Jika rendemen di atas tujuh persen, maka petani mendapat bagian 75 persen.
Namun, realitas di lapangan, rendemen tebu saat ini hanya enam persen. Artinya dari 100 kilogram tebu yang digiling hanya menghasilkan enam kilogram gula. "Padahal, rendemen tebu saya 10 persen," keluh Marzuki.
Marzuki membuat perbandingan dengan penggilingan tebu untuk produksi gula merah miliknya sendiri. "Kalau saya giling di pabrik gula Semboro, pendapatan kotor per hektare Rp 32 juta dengan rendemen 6, produksi seribu kuintal tebu per hektare. Kalau giling sendiri dengan jenis tebu 862, rendemen 10 persen. pendapatan Rp 62 juta," katanya.
Marzuki belum tahu alasan pabrik tetap memakai sistim rendemen hamparan. Ia sendiri sudah memperjuangkan penggunaan rendemen individu sejak 2009. "Mungkin ada kekhawatiran, petani yang menanam tebunya agak tak sesuai teknis akan lari. Tapi saya bilang ke Pak Administratur, kalau tidak menerapkan rendemen indvidu ini, petani tak akan berlomba-lomba dalam kebaikan," katanya.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Petani Tebu Rakyat Jember Moch. Ali Fikri mengatakan, rendemen saat ini enam persen. "Tapi produksi petani saat ini sedang jeblok, karena terjadi penurunan produksi 20-30 persen dibanding tahun lalu. Produksi tebu merosot, karena sinar matahari tidak maksimal, sehingga pertumbuhan tebu tak maksimal," katanya. [wir]
Sumber:
http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2011-07-02/104862/Petani_Tebu_Jember_Tuntut_Rendemen_Individu
No comments:
Post a Comment