[ Kamis, 10 Desember 2009 ]
Profit Sharing Gula Perlu Dibenahi
SURABAYA - Industri gula masih membutuhkan dana talangan. Sebab, menurut Adig Suwandi, sekrertaris perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI, dana talangan itu bisa menjamin harga gula petani. Pasalnya, harga gula cenderung mengalami fluktuasi.
''Tahun ini, besaran dana talangan sesuai dengan harga pokok penyanggaan (floor price) yang ditetapkan pemerintah, yakni sebesar Rp 5.000 per kg,'' katanya. Sementara untuk profit sharing atau pembagian keuntungan sebesar 60 persen petani dan 40 persen investor.
Kenyataannya, kondisi harga gula tahun ini menanjak signifikan. Harga gula tender bahkan pernah menyentuh posisi Rp 8.500, sehingga keuntungan yang diperoleh investor jauh lebih besar. Diakui, hal itu memicu gejolak, karena bisa merugikan petani.
''Memang, baru kali ini investor menuai untung. Lonjakan harga gula dunia yang selama ini jadi referensi transaksi gula di Indonesia menaikkan harga gula di tingkat lokal. Namun, ketika harga gula anjlok 2007-2008 lalu dan investor merugi, tidak ada yang menggugat,'' timpalnya.
Dikatakan, idealnya dana talangan diberikan oleh investor. Sebab, kalau ditanggung pabrik gula bisa menimbulkan masalah. Apalagi kalau harga yang terbentuk di pasar jauh lebih rendah dari dana talangan, sehingga perlu subsidi.
''Jika subsidi ditanggung pemerintah tidak masalah, tapi kalau tidak berarti harus ditanggung perusahaan BUMN terkait. Nah selama ini tidak ada mekanisme seperti itu. Karena itu peran investor masih diperlukan,'' tuturnya.
Dia menekankan, untuk menghindari gejolak di kalangan petani terkait dana talangan, perlu dilakukan pembenahan profit sharing. Yakni berupa perbaikan persentase profit sharing yang mengikuti kenaikan harga tender gula.
Contohnya, harga tender Rp. 6.501,-Rp. 7.000 formulanya berubah menjadi 65 dan 35 persen, Rp. 7.001-Rp. 7.500 berubah lagi 70 dan 30 persen. (res/bas)
Sumber:''Tahun ini, besaran dana talangan sesuai dengan harga pokok penyanggaan (floor price) yang ditetapkan pemerintah, yakni sebesar Rp 5.000 per kg,'' katanya. Sementara untuk profit sharing atau pembagian keuntungan sebesar 60 persen petani dan 40 persen investor.
Kenyataannya, kondisi harga gula tahun ini menanjak signifikan. Harga gula tender bahkan pernah menyentuh posisi Rp 8.500, sehingga keuntungan yang diperoleh investor jauh lebih besar. Diakui, hal itu memicu gejolak, karena bisa merugikan petani.
''Memang, baru kali ini investor menuai untung. Lonjakan harga gula dunia yang selama ini jadi referensi transaksi gula di Indonesia menaikkan harga gula di tingkat lokal. Namun, ketika harga gula anjlok 2007-2008 lalu dan investor merugi, tidak ada yang menggugat,'' timpalnya.
Dikatakan, idealnya dana talangan diberikan oleh investor. Sebab, kalau ditanggung pabrik gula bisa menimbulkan masalah. Apalagi kalau harga yang terbentuk di pasar jauh lebih rendah dari dana talangan, sehingga perlu subsidi.
''Jika subsidi ditanggung pemerintah tidak masalah, tapi kalau tidak berarti harus ditanggung perusahaan BUMN terkait. Nah selama ini tidak ada mekanisme seperti itu. Karena itu peran investor masih diperlukan,'' tuturnya.
Dia menekankan, untuk menghindari gejolak di kalangan petani terkait dana talangan, perlu dilakukan pembenahan profit sharing. Yakni berupa perbaikan persentase profit sharing yang mengikuti kenaikan harga tender gula.
Contohnya, harga tender Rp. 6.501,-Rp. 7.000 formulanya berubah menjadi 65 dan 35 persen, Rp. 7.001-Rp. 7.500 berubah lagi 70 dan 30 persen. (res/bas)
http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=104710
No comments:
Post a Comment