Monday, March 3, 2014

Gulaku Manis Gulaku Tragis

Senin, 03/03/2014 11:13 WIB

Catatan Agus Pambagio

Agus Pambagio - detikNews

Jakarta - Gula yang merupakan salah satu komoditas utama masyarakat Indonesia, selain beras, sudah puluhan tahun selalu bermasalah. Sama seperti beras, Indonesia pernah mengalami masa swasembada gula bahkan pernah menjadi salah satu produsen gula terbesar di dunia. Namun bagaimana nasib gula Indonesia sekarang?

Berdasarkan Road Map Gula Indonesia yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Agro dan Industri Kimia, Kementerian Perindustrian pada tahun 2009, swasembada gula nasional (gula putih, gula Kristal rafinasi dan raw sugar) akan tercapai pada tahun 2014. Kenyataannya?

Berbagai kebijakan sudah dibuat sejak zaman Orde Baru hingga saat ini, namun industri gula dalam negeri tak kunjung maju. Jumlah pabrik gula dan area perkebunan tebu saja pertumbuhannya sangat lambat kalau tidak boleh dibilang stagnan dengan teknologi yang usang. Apa bisa menunjang swasembada gula tahun ini?

Berbagai program swassembada gula pun sudah dicanangkan dan bahkan dianggarkan cukup besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu (dikenal dengan istilah 'bongkar ratoon'). Namun hasilnya belum bisa memenuhi kebutuhan 250 juta lebih penduduk Indonesia.

Pertanyaannya, apa penyebabnya? Regulasi yang tidak benar dan komprehensif atau penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggar kebijakan Pemerintah atau tingginya arogansi sektoral di Pemerintahan atau tanah kita sudah tidak cocok untuk bertanam tebu atau kita kekurangan tenaga ahli gula modern yang mumpuni? Jadi jangan heran kalau gulaku manis gulaku tragis.

Persoalan di Lapangan

Menurut Menteri Pertanian (Berita Pertanian On Line, Agustus 2012), produksi gula dalam negeri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan gula sebesar 5,7 juta ton pada 2014, (2,96 juta ton untuk konsumsi langsung masyarakat dan 2,74 juta ton untuk keperluan industri makanan, minuman dan farmasi).

Tahun 2014 sedang berjalan, namun belum tampak akan berjalan sesuai dengan Road Map. Buktinya kuota impor raw sugar yang dikeluarkan oleh Kementrian Perdagangan berdasarkan rekomendasi Sucofindo, masih sekitar 3 juta ton lebih. Patut diduga Sucofindo salah hitung dan kalau ini diteruskan dapat membantai petani tebu dan industri gula nasional.

Kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman (mamin) tahun 2014 diperkirakan mencapai 3 juta ton lebih, ini dihasilkan oleh industri gula rafinasi nasional, seiring dengan peningkatan kapasitas industri mamin (sumber: Agri). Bahan baku gula rafinasi (raw sugar) 100% masih impor karena raw sugar domestik hanya cukup untuk gula konsumsi (kristal putih).

Gula rafinasi hanya boleh digunakan untuk industri bukan untuk dijual ke pasar sebagai gula konsumsi. Gula rafinasi memang lebih murah dibandingkan dengan gula konsumsi karena harga raw sugar impor sangat murah, sehingga gula rafinasi sering bocor sampai ke pasar becek. Ini yang menyebabkan gula konsumsi tidak laku dan pabrik gula serta petani merugi.
Gula konsumsi mahal karena proses produksinya tidak efisien, seperti pengolahan tebu yang kebanyakan masih menggunakan teknologi zaman penjajahan dan dikerjakan secara manual, sehingga banyak butiran gula berceceran.
Menurut Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) Ismed Hasan Putro: "Tahun 2013 merupakan awal kematian industri gula tebu BUMN. Di Kupang misalnya, harga gula tebu impor hanya Rp 5.000. Itu dari Australia yang masuk lewat Timor Leste. Kontrol perbatasan tidak terjaga dengan baik," kata Ismed dalam konferensi pers di kantor pusat RNI (Kompas.com, Senin 23/12/2013).

Ismed menekankan bahwa pada 2015, Indonesia akan dihadapkan pada pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dengan kondisi bahwa berbagai macam produk dapat leluasa masuk ke pasar tanpa bea masuk, tidak terkecuali gula impor dengan harga yang jauh lebih murah.

Sebagai contoh harga gula rafinasi di Cape Town dan Thailand Harga Pokok Produksi (HPP) Rp 3.500 sampai Rp 4.000. Di Indonesia, HPP gula Kristal putih produk BUMN minimal Rp 6.000 sampai Rp 8.000. "Bagaimana bisa bersaing dengan gula dari Vietnam atau Thailand nanti?" ujar dia.

Kuota gula rafinasi saat ini, kata Ismed, tampaknya merembes ke pasar ritel. Keadaan ini menurutnya membuat berbagai regulasi terkait gula tidak berguna akibat minimnya pencegahan gula rafinasi masuk pasar dan membunuh gula kristal putih atau gula konsumsi produk pabrik gula domestik.

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah

Meskipun sebentar lagi Pemerintaha akan memasuki masa vacuum dan tidak boleh mengambil keputusan strategis, namun tetap saja Pemerintah perlu melakukan beberapa hal berikut dilakukan, seperti:

1. Untuk memastikan supaya gula rafinasi tidak merembes ke pasar, sebaiknya kebijakan besaran lot lelang gula kristal putih produksi pabrik gula domestik harus diperkecil supaya pedagang dengan modal kecil bisa ikut berpartisipasi. Jangan hanya pedagang besar dengan modal besar, seperti kelompok the Seven Samurai saja yang bisa ikut lelang.
2. Pastikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mengawasi Kementerian Perdagangan terkait dengan pemberian kuota impor raw sugar, sementara dukungan APBN untuk swasembada gula juga besar.

3. Pabrik gula milik BUMN di izinkan untuk membuat gula kristal putih di luar musim giling (menggunakan gas sebagai bahan bakar karena limbah tebu tidak ada) sehingga ketersediaan gula konsumen terjamin dangan harga stabil

4. Membangun industri dan perkebunan tebu tidak menguntungkan kecuali ada dukungan fiskal Pemerintah, karena industri dan petani tebu dibebani biaya pupuk, UMR dsb. Sementara kalau impor banyak memperoleh incentive fiscal, seperti bea masuk nol persen dsb.

5. Harus ada kebijakan yang mendorong tumbuhnya industri gula domestik, selain dengan bongkar ratoon dan subsidi pupuk, juga harus ada jaminan pengadaan bibit kelas 1, bukan turunan kesekian.

6. Dan beberapa penggunaan teknologi pergulaan lainnya.

*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen

 Sumber:
http://news.detik.com/read/2014/03/03/111333/2513315/103/gulaku-manis-gulaku-tragis

3 comments:

Fazri said...

Sedih sekali ya. Aturan pemerintah melarang masuk gula import, soalnya kasian petani tebu..

Cosmos said...

bener Mas, tapi pemerintah memberikan ijin import tidak sesuai dengan kebutuhan. Karena berlebih akhirnya merembes ke pasar tidak sesuai peruntukannya. Akhirnya petani dirugikan, artinya harga gula petani anjlok.

Cosmos said...

oh ya Mas, terima kasih atas kunjungan dan komentarnya