Catatan Agus Pambagio
Agus Pambagio - detikNews
Jakarta - Gula yang merupakan salah satu komoditas
utama masyarakat Indonesia, selain beras, sudah puluhan tahun selalu
bermasalah. Sama seperti beras, Indonesia pernah mengalami masa
swasembada gula bahkan pernah menjadi salah satu produsen gula terbesar
di dunia. Namun bagaimana nasib gula Indonesia sekarang?
Berdasarkan
Road Map Gula Indonesia yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Agro dan
Industri Kimia, Kementerian Perindustrian pada tahun 2009, swasembada
gula nasional (gula putih, gula Kristal rafinasi dan raw sugar) akan
tercapai pada tahun 2014. Kenyataannya?
Berbagai kebijakan sudah
dibuat sejak zaman Orde Baru hingga saat ini, namun industri gula dalam
negeri tak kunjung maju. Jumlah pabrik gula dan area perkebunan tebu
saja pertumbuhannya sangat lambat kalau tidak boleh dibilang stagnan
dengan teknologi yang usang. Apa bisa menunjang swasembada gula tahun
ini?
Berbagai program swassembada gula pun sudah dicanangkan dan
bahkan dianggarkan cukup besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), termasuk rehabilitasi atau peremajaan perkebunan tebu
(dikenal dengan istilah 'bongkar ratoon'). Namun hasilnya belum bisa
memenuhi kebutuhan 250 juta lebih penduduk Indonesia.
Pertanyaannya,
apa penyebabnya? Regulasi yang tidak benar dan komprehensif atau
penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggar kebijakan Pemerintah atau
tingginya arogansi sektoral di Pemerintahan atau tanah kita sudah tidak
cocok untuk bertanam tebu atau kita kekurangan tenaga ahli gula modern
yang mumpuni? Jadi jangan heran kalau gulaku manis gulaku tragis.
Persoalan di Lapangan
Menurut
Menteri Pertanian (Berita Pertanian On Line, Agustus 2012), produksi
gula dalam negeri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan gula sebesar 5,7
juta ton pada 2014, (2,96 juta ton untuk konsumsi langsung masyarakat
dan 2,74 juta ton untuk keperluan industri makanan, minuman dan
farmasi).
Tahun 2014 sedang berjalan, namun belum tampak akan
berjalan sesuai dengan Road Map. Buktinya kuota impor raw sugar yang
dikeluarkan oleh Kementrian Perdagangan berdasarkan rekomendasi
Sucofindo, masih sekitar 3 juta ton lebih. Patut diduga Sucofindo salah
hitung dan kalau ini diteruskan dapat membantai petani tebu dan industri
gula nasional.
Kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan
dan minuman (mamin) tahun 2014 diperkirakan mencapai 3 juta ton lebih,
ini dihasilkan oleh industri gula rafinasi nasional, seiring dengan
peningkatan kapasitas industri mamin (sumber: Agri). Bahan baku gula
rafinasi (raw sugar) 100% masih impor karena raw sugar domestik hanya
cukup untuk gula konsumsi (kristal putih).
Gula rafinasi hanya
boleh digunakan untuk industri bukan untuk dijual ke pasar sebagai gula
konsumsi. Gula rafinasi memang lebih murah dibandingkan dengan gula
konsumsi karena harga raw sugar impor sangat murah, sehingga gula
rafinasi sering bocor sampai ke pasar becek. Ini yang menyebabkan gula
konsumsi tidak laku dan pabrik gula serta petani merugi.
Gula
konsumsi mahal karena proses produksinya tidak efisien, seperti
pengolahan tebu yang kebanyakan masih menggunakan teknologi zaman
penjajahan dan dikerjakan secara manual, sehingga banyak butiran gula
berceceran.
Menurut Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) Ismed
Hasan Putro: "Tahun 2013 merupakan awal kematian industri gula tebu
BUMN. Di Kupang misalnya, harga gula tebu impor hanya Rp 5.000. Itu dari
Australia yang masuk lewat Timor Leste. Kontrol perbatasan tidak
terjaga dengan baik," kata Ismed dalam konferensi pers di kantor pusat
RNI (Kompas.com, Senin 23/12/2013).
Ismed menekankan bahwa pada
2015, Indonesia akan dihadapkan pada pasar bebas ASEAN atau Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA), dengan kondisi bahwa berbagai macam produk dapat
leluasa masuk ke pasar tanpa bea masuk, tidak terkecuali gula impor
dengan harga yang jauh lebih murah.
Sebagai contoh harga gula
rafinasi di Cape Town dan Thailand Harga Pokok Produksi (HPP) Rp 3.500
sampai Rp 4.000. Di Indonesia, HPP gula Kristal putih produk BUMN
minimal Rp 6.000 sampai Rp 8.000. "Bagaimana bisa bersaing dengan gula
dari Vietnam atau Thailand nanti?" ujar dia.
Kuota gula rafinasi
saat ini, kata Ismed, tampaknya merembes ke pasar ritel. Keadaan ini
menurutnya membuat berbagai regulasi terkait gula tidak berguna akibat
minimnya pencegahan gula rafinasi masuk pasar dan membunuh gula kristal
putih atau gula konsumsi produk pabrik gula domestik.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah
Meskipun
sebentar lagi Pemerintaha akan memasuki masa vacuum dan tidak boleh
mengambil keputusan strategis, namun tetap saja Pemerintah perlu
melakukan beberapa hal berikut dilakukan, seperti:
1. Untuk
memastikan supaya gula rafinasi tidak merembes ke pasar, sebaiknya
kebijakan besaran lot lelang gula kristal putih produksi pabrik gula
domestik harus diperkecil supaya pedagang dengan modal kecil bisa ikut
berpartisipasi. Jangan hanya pedagang besar dengan modal besar, seperti
kelompok the Seven Samurai saja yang bisa ikut lelang.
2. Pastikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mengawasi
Kementerian Perdagangan terkait dengan pemberian kuota impor raw sugar,
sementara dukungan APBN untuk swasembada gula juga besar.
3.
Pabrik gula milik BUMN di izinkan untuk membuat gula kristal putih di
luar musim giling (menggunakan gas sebagai bahan bakar karena limbah
tebu tidak ada) sehingga ketersediaan gula konsumen terjamin dangan
harga stabil
4. Membangun industri dan perkebunan tebu tidak
menguntungkan kecuali ada dukungan fiskal Pemerintah, karena industri
dan petani tebu dibebani biaya pupuk, UMR dsb. Sementara kalau impor
banyak memperoleh incentive fiscal, seperti bea masuk nol persen dsb.
5.
Harus ada kebijakan yang mendorong tumbuhnya industri gula domestik,
selain dengan bongkar ratoon dan subsidi pupuk, juga harus ada jaminan
pengadaan bibit kelas 1, bukan turunan kesekian.
6. Dan beberapa penggunaan teknologi pergulaan lainnya.
*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
Sumber:
http://news.detik.com/read/2014/03/03/111333/2513315/103/gulaku-manis-gulaku-tragis
3 comments:
Sedih sekali ya. Aturan pemerintah melarang masuk gula import, soalnya kasian petani tebu..
bener Mas, tapi pemerintah memberikan ijin import tidak sesuai dengan kebutuhan. Karena berlebih akhirnya merembes ke pasar tidak sesuai peruntukannya. Akhirnya petani dirugikan, artinya harga gula petani anjlok.
oh ya Mas, terima kasih atas kunjungan dan komentarnya
Post a Comment