Thursday, January 27, 2011

GULA

GULA
Butuh Konsistensi Kebijakan
Kamis, 27 Januari 2011 | 04:12 WIB

Kita prihatin melihat produksi gula kristal putih nasional 2010 yang diperkirakan 2,3 juta ton, lebih rendah 400.000 ton dari target. Bila ramalan ini benar, langkah mundur peningkatan produksi gula sedang terjadi.

Angka produksi itu juga bermakna lain. Dengan turunnya produksi gula di tengah konsumsi yang tetap, membuka peluang membengkaknya impor gula. Bila tahun 2009 impor gula hanya 2,15 juta ton setara gula kristal rafinasi, tahun ini bakal menjadi 2,5 juta ton. Devisa negara banyak terkuras.

Dengan turunnya produksi, pendapatan petani tebu juga merosot. Artinya, daya beli masyarakat ikut tergerus. Apalagi penurunan produksi sebagai dampak rendahnya rendemen atau kadar kandungan gula dalam batang tebu. Belum lagi dampak lain berupa penurunan laju pertumbuhan ekonomi pedesaan akibat jatuhnya daya beli. Belum lagi bicara inflasi.

Yang paling mudah menjadi kambing hitam tentu saja iklim. Memang tidak bisa dimungkiri, iklim ekstrem sangat memengaruhi budidaya tebu. Petani kesulitan memanen karena ladang basah dan tanaman tebu terlalu banyak kandungan air karena proses pemasakan terganggu.

Namun, di luar masalah iklim, kita acap kali lupa. Banyak program pemerintah terkait peningkatan produksi gula nasional belum berjalan efektif. Program bongkar ratoon tidak lagi gegap gempita. Revitalisasi pabrik gula milik BUMN lamban. Tahun 2008, misalnya, revitalisasi pabrik gula tidak jalan akibat harga gula dalam negeri jatuh.

Tentu sangat disayangkan ketika revitalisasi bersandar pada pasar. Kenapa kita tidak pernah belajar dari para pengusaha yang melakukan investasi saat harga jatuh dan menangguk untung saat berproduksi dan harga tinggi?

Buruknya kinerja pabrik gula dalam negeri, terutama pabrik yang dikelola perusahaan gula BUMN, tampak dari rendahnya kadar rendemen gula yang digiling di pabrik milik BUMN. Jauh lebih rendah dibanding pabrik gula swasta. Mengapa demikian?

Bisa saja manajemen pabrik berkelit dengan mengatakan mesin usang. Benarkah itu penyebab satu-satunya? Pabrik Gula Jati Tujuh, Jawa Barat, dan beberapa pabrik milik PT Perkebunan Nusantara X boleh menjadi contoh. Bahwa meski mesin tua, kadar rendemen gula bisa tinggi. Kuncinya manajemen.

Budidaya juga masih banyak masalah. Infrastruktur dasar di ladang-ladang tebu masih buruk. Saat musim hujan datang, tebu tidak bisa dipanen. Kalaupun bisa, ongkos produksinya mahal. Belum lagi manajemen giling dan pertanaman. Pola giling tebu tidak didasarkan pada urutan pertanaman, tetapi bergantung pada siapa yang punya akses ke pabrik gula. Tak jarang tebu petani terlambat digiling akibat permainan di pabrik gula.

Mencapai swasembada gula sesungguhnya tidak sulit kalau semua pihak konsisten dengan keinginan itu dan menjalankannya dengan baik, melepaskan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan untuk kepentingan bangsa. Apalagi sektor pergulaan nasional saat ini merupakan lahan investasi subur.

(HERMAS E PRABOWO)
Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/2011/01/27/0412305/butuh.konsistensi.kebijakan

No comments: