Globalisasi dan Konglomerasi Koperasi (Bagian I)
Senin, 23 April 2012 - 09:54 wib
Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa koperasi adalah pilar utama
(sokoguru) perekonomian nasional. Bukan badan usaha swasta maupun BUMN.
Menurut Bung Hatta, Pasal 33 UUD 1945 adalah politik sosial ekonomi
Republik Indonesia yang lahir dari buah pemikiran yang dalam dan luas
dari para pendiri bangsa dan negara Republik Indonesia. Sebagai landasan
paham Negara Kesejahteraan (welfare state), Pasal 33 lantas ditempatkan
pada BAB XIV UUD 1945 yang diberi judul KESEJAHTERAAN SOSIAL.
Agar
koperasi dapat menjadi tulang punggung perekonomian, maka koperasi
harus mampu bersaing dan berdiri sejajar dengan BUMN dan badan usaha
swasta, dua badan usaha lain yang diamanatkan UUD 1945. Justru di situ
tantangan besar bagi koperasi Indonesia hari ini: menembus dominasi
konglomerasi ekonomi korporasi swasta dan BUMN dalam era pasar bebas
yang sangat kompetitif. Koperasi Indonesia dituntut menjadi entitas
bisnis berskala konglomerat agar mampu memainkan perannya sebagai pilar
utama perekonomian Indonesia.
Namun hingga hari ini, koperasi
identik dengan usaha kecil, orang kecil, modal kecil, hal ini bukan
kesalahan dan kegagalan koperasi untuk tampil sebagai pelaku ekonomi
utama, akan tetapi kesalahan terletak pada sistem perekonomian kapitalis
yang dikembangkan selama ini. Ekonomi konglomerasi diberi peran utama,
sedangkan koperasi diberi peran sebagai aktor figuran di pentas ekonomi
nasional. Koperasi direkayasa dan dipaksa, seolah-olah ada, tapi
sebenarnya tak berdaya dan tidak diberi akses yang luas.
Sebagai
bukti, pekan lalu Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Syarifuddin
Hasan menyodorkan data yang memprihatinkan. Disebutkan, dari 188.181
koperasi di Indonesia saat ini, sebanyak 47.000 atau 25% tidak aktif
atau mati suri, dan kebanyakan yang mati itu adalah koperasi pertanian
dan simpan-pinjam.
Ditilik dari realitas yang ada, eksitensi
koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional sekaligus entitas bisnis
belum begitu berkontribusi pada ekonomi bangsa. Lembaga ekonomi yang
berwatak kerakyatan ini sering diidentikkan sebagai kegiatan yang
mengurus kebutuhan pokok sehari-hari dalam skala terbatas dan simpan
pinjam. Koperasi jarang diidentikkan dengan kekuatan besar yang mampu
mengantarkan kesejahteraan para anggotanya secara adil dan berkelanjutan
seiring tuntutan perubahan dan persaingan di era globalisasi.
Mencermati
perkembangan perkoperasian kita di era pasar bebas, koperasi harus
segera mereformasi dirinya, membangun kekuatan agar mampu berdiri
sejajar dengan korporasi-korporasi raksasa di era globalisasi. Untuk
itu, sudah saatnya koperasi harus dilibatkan dalam setiap perencanaan
dan pelaksanaan strategi pembangunan jangka panjang di Republik
Indonesia. Misalnya, akumulasi modal usaha koperasi melalui pelaksanaan
kebijakan pemerintah; koperasi dilibatkan dalam pelaksanaan usaha
strategis dan sektor usaha skala besar. Sektor-sektor usaha yang sangat
penting bagi upaya menyejahterakan rakyat, seperti industri, manufaktur,
perdagangan, jasa, perbankan, telekomunikasi, angkutan atau
transportasi, dan jasa distribusi, perlu dikelola melalui
koperasi-koperasi rakyat.
Tetapi, ada dus pertanyaan mendasar.
Pertama, bolehkah koperasi bertumbuh kembang menjadi konglomerasi (baca:
bisnis raksasa)? Bukankah itu melanggar jatidiri koperasi sebagai usaha
bersama yang berdasarkan kekeluargaan yang tidak berorientasi profit,
sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945? Pertanyaan kedua, mampukah
koperasi bersaing dengan korporasi-korporasi raksasa nasional,
multinasional, dan transnasional, termasuk BUMN, yang selama ini
mendominasi pasar ekonomi Indonesia dewasa ini?
Jawaban untuk
pertanyaan pertama tentu saja tidak. Koperasi itu entitas bisnis yang
dibentuk sesuai jenis usahanya. Namun filosofinya adalah usaha yang
lahir dari usaha bersama dengan asas kekeluargaan, bukan asas keluarga.
Hal ini berarti, usaha itu dapat berbentuk PT, CV, boleh juga koperasi,
namun prinsipnya usaha bersama dengan asas kekeluargaan. Adanya asas
kekeluargaan tidak boleh menyebabkan penumpukan kekayaan di Indonesia
yang beraneka ragam suku, bahasa, adat-istiadat, agama, dan melimpah
kekayaan alam.
Dari pemahaman Pasal 33 UUD 1945, tidak boleh ada
kapitalisme yang lahir dan tumbuh bukan karena usaha bersama dengan
asas kekeluargaan. Sementara itu, yang terjadi selama ini ialah
konglomerasi dan kapitalisme yang tumbuh bukan karena usaha koperasi.
Pada titik inilah perjuangan dan idealisme wacana tentang konglomerasi
koperasi menjadi sangat relevan.
Thoby Mutis, pakar manajemen dan
koperasi, menjelaskan argumentasi tentang konglomerasi koperasi bahwa
ungkapan gotong-royong ‘bersatu kita teguh bercerai kita runtuh’ harus
diartikan mempersatukan sumber daya dan dana dalam suatu skala yang
lebih besar dan dapat memunculkan the economy of large scale (ekonomi
untuk skala besar) dan adanya penataan yang efisien dan praktis. Aspek
ekonomi ini dapat diterapkan secara tajam dari teori tentang biaya
produksi dalam lingkup law of the large number. Dengan kata lain, hal
ini memunculkan cost synergy (sinerji biaya) yang memberikan manfaat
tertentu (Thoby Mutis, 1991).
Tiga Kekuatan Koperasi
Pertanyaan
kedua yang menggelitik, apakah koperasi mampu menggarap bisnis berskala
besar sehingga bisa berdiri sejajar dengan korporasi nasional,
multinasional, dan transnasional di era globalisasi? Jawabannya: mampu!
Sedikitnya, ada tiga kekuatan riil koperasi Indonesia yang selama ini
masih terabaikan.
Pertama, koperasi memiliki jaringan vertikal
yang hebat dari tingkat primer, sekunder tingkat provinsi, dan sekunder
tingkat nasional. Dalam teori biaya produksi, penataan yang efisien dan
praktis melahirkan cost synergy (sinergi biaya) yang memberikan manfaat
lebih optimal. Rasionalitas seperti ini merupakan upaya-upaya berkaitan
dengan cost saving factor dan utilization capital factor yang dapat
memacu sinergi yang berkelanjutan.
Kekuatan kedua adalah social
capital. Anggota koperasi yang berposisi sebagai pemilik sekaligus
pelanggan, sesungguhnya merupakan kekuatan utama dari koperasi. Jumlah
188.181 koperasi Indonesia saat ini dengan anggota 30.849.913 merupakan
modal bagi pengembangan usaha koperasi, bukan hanya perannya sebagai
pemilik (yang harus mengontribusi modal), tetapi juga sebagai potensi
pasar yang pasti (captive market). Lebih dari itu, anggota juga bisa
dijadikan faktor untuk memperkuat posisi runding koperasi dengan pihak
mana pun.
Kekuatan ketiga adalah adanya mekanisme demokrasi dalam
koperasi, untuk menghasilkan keputusan bersama yang menjamin perwujudan
kemakmuran dan kesejahteraan yang merata, lepas dari tekanan dan
pengaruh dari kekuatan politik tertentu atau pun golongan bermodal.
Kalau mekanisme ini berjalan dengan baik, niscaya akan membuat koperasi
solid. Pengalaman menunjukkan, kehancuran koperasi sering kali justru
disebabkan oleh munculnya masalah dari dalam koperasi sendiri, antara
lain sebagai akibat dari macetnya mekanisme demokrasi, termasuk di
dalamnya transparansi.
Kesimpulannya, koperasi memiliki potensi
besar menjadi kekuatan ekonomi raksasa. Di banyak negara, termasuk
industri maju yang kapitalis, banyak koperasi memiliki saham pada
usaha-usaha beromzet miliaran dolar AS. Dari laporan International
Co-operative Alliance (ICA) 2010, total pendapatan kolektif 300 koperasi
terbesar di dunia mencapai 1,6 triliun dolar AS. Data terkini yang
dicatat PBB, terdapat 1,4 juta koperasi di seluruh dunia yang bergerak
di bidang pertanian, peternakan, kesehatan, perumahan, distribusi hingga
olahraga.
Di India, koperasi petani tebu rakyat, bahkan
memiliki dan menguasai saham-saham pabrik gula. Koperasi Rochdale di
Inggris memiliki 7 juta anggota dan mempekerjakan 120.000 karyawan
profesional. Kemajuan ekonomi di Singapura, Jepang, Taiwan, dan AS
ternyata digerakkan oleh bisnis yang berbasis koperasi. Klub terbaik di
dunia Barcelona (Spanyol) bahkan dikelola berdasarkan asas-asas
koperasi.
Membangun konglomerasi koperasi nasional dapat
dilakukan melalui penguatan sistem kelembagaan koperasi, apa pun
jenisnya. Koperasi yang dikenal umum di Indonesia maupun internasional
mencakup koperasi produsen, konsumen, koperasi simpan pinjam, dan unit
simpan pinjam (KSP/USP), pemasaran serta koperasi jasa. Koperasi di
Indonesia saat ini mampu menguasai berbagai sektor bisnis, tanpa
melakukan praktik monopoli. Konsep perkoperasian di Indonesia memang
menganut sistem demokrasi untuk kesejahteraan banyak orang. Konglomerasi
koperasi akan menjadi kenyataan setelah kelima jenis koperasi bisa
bersinergi saling mendukung. Misalnya, penguasaan satu industri dari
hulu hingga hilir. Jika mempunyai peternakan sapi maka bisa mendirikan
beberapa koperasi turunan seperti produsen susu, pabrik pengolah susu,
distribusi susu, pemasaran susu, konsumen susu, dan seterusnya.
Di
Amerika Serikat, misalnya, koperasi dapat menjadi besar dengan cara
menyinergikan operasional kelima jenis koperasi. Semakin besar jumlah
anggotanya, semakin besar pula kekuatan untuk menyejahterakan anggotanya
sebab kemampuan untuk memobilisasi dana juga bertambah. Dari sisi
pemasaran, berbagai komoditas yang dihasilkan lebih memiliki kepastian
pasar, terutama di lingkup anggota sendiri. Pasarnya bisa bertambah luas
ketika konsumen umum juga telah memanfaatkan kelompok tersebut sebagai
pasarnya.
Tradisi konglomerasi koperasi sebenarnya sudah
terlaksana pada unit multiusaha, seperti Koperasi Unit Desa (KUD), Pusat
Koperasi Unit Desa (Puskud), Inkud, koperasi primer/sekunder, dan
koperasi serba usaha. Di India, koperasi petani tebu rakyat telah
memiliki dan menguasai saham pabrik gula. Kondisi seperti ini merupakan
cikal-bakal terjadinya konglomerasi dalam koperasi. Koperasi sekunder di
Korea Selatan, yakni NACF, semakin berkembang melalui merger secara
horizontal dan vertikal. Mereka kemudian merambah ke bisnis keuangan dan
perbankan.
Di Indonesia, konglomerasi koperasi dengan omzet
miliaran rupiah juga sudah mulai menggeliat dalam satu dasawarsa
terakhir. Majalah PIP (Pusat Informasi Perkoperasian) pernah melansir
daftar 100 koperasi yang memiliki omzet puluhan miliar hingga ratusan
miliar, bahkan ada koperasi yang menembus angka triliunan rupiah. Di
bawah 100 koperasi dengan volume usaha paling tinggi tersebut, masih ada
50 koperasi lain yang volume usahanya mencapai belasan miliar, dimana
koperasi yang menempati urutan 50 dalam daftar kedua ini membukukan
volume usaha 15 miliar rupiah lebih.
Dari sisi kegiatan usaha,
unit simpan pinjam merupakan usaha yang paling potensial digarap
koperasi, dan dengan menangani secara khusus maupun sebagai unit usaha.
Bahkan koperasi yang bertengger di urutan pertama yaitu Kospin Jasa
Pekalongan merupakan koperasi yang mengkhususkan diri di usaha simpan
pinjam. Lima koperasi simpan pinjam lainnya menemani Kospin Jasa di 10
besar.
Kospin Jasa Pekalongan, bisa saja merepresentasikan
kejayaan koperasi simpan pinjam, tetapi juga bisa disebut icon kebesaran
koperasi di Indonesia, dengan volume usahanya yang mencapai Rp 5
triliun lebih. Jika dibandingkan dengan asetnya yang berjumlah 1, 24
triliun rupiah, Kospin Jasa terbilang produktif untuk ukuran perusahaan
yang bergerak di bidang jasa keuangan.
Koperasi fungsional
termasuk dalam deretan paling banyak yang masuk dalam 100 koperasi.
Koperasi jenis ini umumnya memang didukung oleh keanggotaan yang solid.
Namun, di masa lalu, perkembangan koperasi fungsional sering terhenti
pada tingkat tertentu, karena wilayah kerjanya yang sangat terbatas.
Sekarang, banyak koperasi fungsional yang mampu mendobrak keterbatasan
tersebut. Dengan memperluas jangkauan bisnisnya terutama dengan
mengembangkan bisnis di luar simpan pinjam.
Keberadaan Koperasi
Warga Semen Gresik (KWSG) diurutan kedua dalam daftar 100 koperasi
besar, adalah indikasi yang bisa merepresentasikan kejayaan koperasi
fungsional di tanah air. Di daftar 10 besar , koperasi fungsional juga
menempatkan tiga wakil lainnya, yaitu Koperasi PT Indosat, Kopkar Astra
dan koperasi Denma Mabes TNI AU. Koperasi di lingkungan pegawai negeri
(KP-RI) pun banyak yang berhasil masuk urutan 100 besar, posisi
tertinggi ditempati KP-RI Raung di Jawa Timur, yang mencetak omzet Rp
62,55 miliar.
Menarik juga dicermati, koperasi berbasis profesi
pun menunjukkan indikasi perkembangan yang cukup menjanjikan, meskipun
hanya menempatkan satu wakil-nya di 100 besar, yaitu Koperasi Jasa
Kelistrikan Jawa Timur. Koperasi jenis ini sebetulnya mempunyai potensi
cukup tinggi, seiring dengan perkembangan organisasi profesi di Tanah
Air, misalnya ada koperasi yang khusus menghimpun perawat bahkan artis.
Boleh jadi kelak akan berkembang koperasi dokter, koperasi wartawan, dan
sebagainya. Sayangnya sosialisasi koperasi jenis ini masih minim.
Koperasi-koperasi
tersebut, tentu saja dikategorikan sebagai ‘konglomerat’. Selain omzet
miliaran rupiah, bisnis mereka merambah banyak bidang usaha. Kopindosat
(Koperasi PT Indosat), misalnya, memiliki bidang usaha seperti:
distribusi kartu telekomunikasi, konstruksi infrastruktur
telekomunikasi, property dan lisensi, jasa boga (catering, cafe, toko),
jasa penyewaan, marketing and advertising tools, ekspedisi, perdagangan,
simpan pinjam, alih daya, dan tours and travel.
Namun, koperasi
Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan kemajuan koperasi di
banyak negara. Berdasarkan laporan ICA Global 300 yang dikeluarkan oleh
International Co-operative Alliance, belum pernah satu pun koperasi
Indonesia masuk kelompok 300 koperasi berkelas dunia. Dalam laporan ICA
Global 300 tahun 2010, ada tujuh negara Asia yang masuk 300 koperasi
terbesar di dunia, yaitu Jepang, India, Korea Selatan, Singapura,
Malaysia, Cina, dan Taiwan.
Sungguh ironis, padahal Indonesia
adalah anggota ICA dengan jumlah anggota koperasi 31 juta, terbesar ke-4
di dunia setelah India (239 juta), AS (78 juta), dan Jepang (42 juta).
Dengan jumlah penduduk 240 juta orang dan dukungan pemerintah yang tak
pernah henti, koperasi Indonesia sangat potensial untuk menembus deretan
elit koperasi dunia. Yang dibutuhkan cuma dukungan nyata pemerintah
berupa regulasi dan kebijakan komprehensif yang memberi ruang gerak
koperasi agar bisa bertumbuh dan berkembang menjadi besar. Kehadiran
koperasi-koperasi berskala konglomerat dapat mengimbangi dominasi
konglomerasi korporasi swasta maupun BUMN, dan pada gilirannya koperasi
benar-benar menjadi sokoguru perekonomian nasional dalam era pasar bebas
masa kini.
Bernhard Limbong
Master Hukum Bisnis dan Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Bandung
Sumber:
http://suar.okezone.com/read/2012/04/23/58/616459/globalisasi-dan-konglomerasi-koperasi-bagian-i
No comments:
Post a Comment