Tuesday, April 24, 2012

Globalisasi dan Konglomerasi Koperasi (Bagian I)

Senin, 23 April 2012 - 09:54 wib
 
 
Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa koperasi adalah pilar utama (sokoguru) perekonomian nasional. Bukan badan usaha swasta maupun BUMN. Menurut Bung Hatta, Pasal 33 UUD 1945 adalah politik sosial ekonomi Republik Indonesia yang lahir dari buah pemikiran yang dalam dan luas dari para pendiri bangsa dan negara Republik Indonesia. Sebagai landasan paham Negara Kesejahteraan (welfare state), Pasal 33 lantas ditempatkan pada BAB XIV UUD 1945 yang diberi judul KESEJAHTERAAN SOSIAL.

Agar koperasi dapat menjadi tulang punggung perekonomian, maka koperasi harus mampu bersaing dan berdiri sejajar dengan BUMN dan badan usaha swasta, dua badan usaha lain yang diamanatkan UUD 1945. Justru di situ tantangan besar bagi koperasi Indonesia hari ini: menembus dominasi konglomerasi ekonomi korporasi swasta dan BUMN dalam era pasar bebas yang sangat kompetitif. Koperasi Indonesia dituntut menjadi entitas bisnis berskala konglomerat agar mampu memainkan perannya sebagai pilar utama perekonomian Indonesia.

Namun hingga hari ini, koperasi identik dengan usaha kecil, orang kecil, modal kecil, hal ini bukan kesalahan dan kegagalan koperasi untuk tampil sebagai pelaku ekonomi utama, akan tetapi kesalahan terletak pada sistem perekonomian kapitalis yang dikembangkan selama ini. Ekonomi konglomerasi diberi peran utama, sedangkan koperasi diberi peran sebagai aktor figuran di pentas ekonomi nasional. Koperasi direkayasa dan dipaksa, seolah-olah ada, tapi sebenarnya tak berdaya  dan tidak diberi akses yang luas.

Sebagai bukti, pekan lalu Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Syarifuddin Hasan menyodorkan data yang memprihatinkan. Disebutkan, dari 188.181 koperasi di Indonesia saat ini, sebanyak 47.000 atau 25% tidak aktif atau mati suri, dan kebanyakan yang mati itu adalah koperasi pertanian dan simpan-pinjam.

Ditilik dari realitas yang ada, eksitensi koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional sekaligus entitas bisnis belum begitu berkontribusi pada ekonomi bangsa. Lembaga ekonomi yang berwatak kerakyatan ini sering diidentikkan sebagai kegiatan yang mengurus kebutuhan pokok sehari-hari dalam skala terbatas dan simpan pinjam. Koperasi jarang diidentikkan dengan kekuatan besar yang mampu mengantarkan kesejahteraan para anggotanya secara adil dan berkelanjutan seiring tuntutan perubahan dan persaingan di era globalisasi.

Mencermati perkembangan perkoperasian kita di era pasar bebas, koperasi harus segera  mereformasi dirinya, membangun kekuatan agar mampu berdiri sejajar dengan korporasi-korporasi raksasa di era globalisasi. Untuk itu, sudah saatnya koperasi harus dilibatkan dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan strategi pembangunan jangka panjang di Republik Indonesia. Misalnya,  akumulasi modal usaha koperasi melalui pelaksanaan kebijakan pemerintah; koperasi dilibatkan dalam pelaksanaan usaha strategis dan sektor usaha skala besar. Sektor-sektor usaha yang sangat penting bagi upaya menyejahterakan rakyat, seperti industri, manufaktur, perdagangan, jasa, perbankan, telekomunikasi, angkutan atau transportasi, dan jasa distribusi, perlu dikelola melalui koperasi-koperasi rakyat.
Tetapi, ada dus pertanyaan mendasar. Pertama, bolehkah koperasi bertumbuh kembang menjadi konglomerasi (baca: bisnis raksasa)? Bukankah itu melanggar jatidiri koperasi sebagai usaha bersama yang berdasarkan kekeluargaan yang tidak berorientasi profit, sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945? Pertanyaan kedua, mampukah koperasi bersaing dengan korporasi-korporasi raksasa nasional, multinasional, dan transnasional, termasuk BUMN, yang selama ini mendominasi pasar ekonomi Indonesia dewasa ini?

Jawaban untuk pertanyaan pertama tentu saja tidak. Koperasi itu entitas bisnis yang dibentuk sesuai jenis usahanya. Namun filosofinya adalah usaha yang lahir dari usaha bersama dengan asas kekeluargaan, bukan asas keluarga. Hal ini berarti, usaha itu dapat berbentuk PT, CV, boleh juga koperasi, namun prinsipnya usaha bersama dengan asas kekeluargaan. Adanya asas kekeluargaan tidak boleh menyebabkan penumpukan kekayaan di Indonesia yang beraneka ragam suku, bahasa, adat-istiadat, agama, dan melimpah kekayaan alam.

Dari pemahaman Pasal 33 UUD 1945, tidak boleh ada kapitalisme yang lahir dan tumbuh bukan karena usaha bersama dengan asas kekeluargaan. Sementara itu, yang terjadi selama ini ialah konglomerasi dan kapitalisme yang tumbuh bukan karena usaha koperasi. Pada titik inilah perjuangan dan idealisme wacana tentang konglomerasi koperasi menjadi sangat relevan.

Thoby Mutis, pakar manajemen dan koperasi, menjelaskan argumentasi tentang  konglomerasi koperasi bahwa ungkapan gotong-royong ‘bersatu kita teguh bercerai kita runtuh’ harus diartikan mempersatukan sumber daya dan dana dalam suatu skala yang lebih besar dan dapat memunculkan the economy of large scale (ekonomi untuk skala besar) dan adanya penataan yang efisien dan praktis. Aspek ekonomi ini dapat diterapkan secara tajam dari teori tentang biaya produksi dalam lingkup law of the large number. Dengan kata lain, hal ini memunculkan cost synergy (sinerji biaya) yang memberikan manfaat tertentu (Thoby Mutis, 1991).

Tiga Kekuatan Koperasi

Pertanyaan kedua yang menggelitik, apakah koperasi mampu menggarap bisnis berskala besar sehingga bisa berdiri sejajar dengan korporasi nasional, multinasional, dan transnasional di era globalisasi? Jawabannya: mampu! Sedikitnya, ada tiga kekuatan riil koperasi Indonesia yang selama ini masih terabaikan.

Pertama, koperasi memiliki jaringan vertikal yang hebat dari tingkat primer, sekunder tingkat provinsi, dan sekunder tingkat nasional. Dalam teori biaya produksi, penataan yang efisien dan praktis melahirkan cost synergy (sinergi biaya) yang memberikan manfaat lebih optimal. Rasionalitas seperti ini merupakan upaya-upaya berkaitan dengan cost saving factor dan utilization capital factor yang dapat memacu sinergi yang berkelanjutan. 

Kekuatan kedua adalah social capital. Anggota koperasi yang berposisi sebagai pemilik sekaligus pelanggan, sesungguhnya merupakan kekuatan utama dari koperasi. Jumlah 188.181 koperasi Indonesia saat ini dengan anggota 30.849.913 merupakan modal bagi pengembangan usaha koperasi, bukan hanya perannya sebagai pemilik (yang harus mengontribusi modal), tetapi juga sebagai potensi pasar yang pasti (captive market). Lebih dari itu, anggota juga bisa dijadikan faktor untuk memperkuat posisi runding koperasi dengan pihak mana pun.

Kekuatan ketiga adalah adanya mekanisme demokrasi dalam koperasi, untuk menghasilkan keputusan bersama yang menjamin perwujudan kemakmuran dan kesejahteraan yang merata, lepas dari tekanan dan pengaruh dari kekuatan politik tertentu atau pun golongan bermodal. Kalau mekanisme ini berjalan dengan baik, niscaya akan membuat koperasi solid. Pengalaman menunjukkan, kehancuran koperasi sering kali justru disebabkan oleh munculnya masalah dari dalam koperasi sendiri, antara lain sebagai akibat dari macetnya mekanisme demokrasi, termasuk di dalamnya transparansi.

Kesimpulannya, koperasi memiliki potensi besar menjadi kekuatan ekonomi raksasa. Di banyak negara, termasuk industri maju yang kapitalis, banyak koperasi memiliki saham pada usaha-usaha beromzet miliaran dolar AS. Dari laporan International Co-operative Alliance (ICA) 2010, total pendapatan kolektif 300 koperasi terbesar di dunia mencapai 1,6 triliun dolar AS. Data terkini yang dicatat PBB, terdapat 1,4 juta koperasi di seluruh dunia yang bergerak di bidang pertanian, peternakan, kesehatan, perumahan, distribusi hingga olahraga.

Di India, koperasi petani tebu rakyat, bahkan memiliki dan menguasai saham-saham pabrik gula. Koperasi Rochdale di Inggris memiliki 7 juta anggota dan mempekerjakan 120.000 karyawan profesional.  Kemajuan ekonomi di Singapura, Jepang, Taiwan, dan AS ternyata digerakkan oleh bisnis yang berbasis koperasi. Klub terbaik di dunia Barcelona (Spanyol) bahkan dikelola berdasarkan asas-asas koperasi.

Membangun konglomerasi koperasi nasional dapat dilakukan melalui penguatan sistem kelembagaan koperasi, apa pun jenisnya. Koperasi yang dikenal umum di Indonesia maupun internasional mencakup koperasi produsen, konsumen, koperasi simpan pinjam, dan unit simpan pinjam (KSP/USP), pemasaran serta koperasi jasa. Koperasi di Indonesia saat ini mampu menguasai berbagai sektor bisnis, tanpa melakukan praktik monopoli. Konsep perkoperasian di Indonesia memang menganut sistem demokrasi untuk kesejahteraan banyak orang. Konglomerasi koperasi akan menjadi kenyataan setelah kelima jenis koperasi bisa bersinergi saling mendukung. Misalnya, penguasaan satu industri dari hulu hingga hilir. Jika mempunyai peternakan sapi maka bisa mendirikan beberapa koperasi turunan seperti produsen susu, pabrik pengolah susu, distribusi susu, pemasaran susu, konsumen susu, dan seterusnya.

Di Amerika Serikat, misalnya, koperasi dapat menjadi besar dengan cara menyinergikan operasional kelima jenis koperasi. Semakin besar jumlah anggotanya, semakin besar pula kekuatan untuk menyejahterakan anggotanya sebab kemampuan untuk memobilisasi dana juga bertambah. Dari sisi pemasaran, berbagai komoditas yang dihasilkan lebih memiliki kepastian pasar, terutama di lingkup anggota sendiri. Pasarnya bisa bertambah luas ketika konsumen umum juga telah memanfaatkan kelompok tersebut sebagai pasarnya.

Tradisi konglomerasi koperasi sebenarnya sudah terlaksana pada unit multiusaha, seperti Koperasi Unit Desa (KUD), Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud), Inkud, koperasi primer/sekunder, dan koperasi serba usaha. Di India, koperasi petani tebu rakyat telah memiliki dan menguasai saham pabrik gula. Kondisi seperti ini merupakan cikal-bakal terjadinya konglomerasi dalam koperasi. Koperasi sekunder di Korea Selatan, yakni NACF, semakin berkembang melalui merger secara horizontal dan vertikal. Mereka kemudian merambah ke bisnis keuangan dan perbankan.

Di Indonesia, konglomerasi koperasi dengan omzet miliaran rupiah juga sudah mulai menggeliat dalam satu dasawarsa terakhir. Majalah PIP (Pusat Informasi Perkoperasian) pernah melansir daftar 100 koperasi yang memiliki omzet puluhan miliar hingga ratusan miliar, bahkan ada koperasi yang menembus angka triliunan rupiah. Di bawah 100 koperasi dengan volume usaha paling tinggi tersebut, masih ada 50 koperasi lain yang volume usahanya mencapai belasan miliar, dimana koperasi yang menempati urutan 50 dalam daftar kedua ini membukukan volume usaha 15 miliar rupiah lebih.

Dari sisi kegiatan usaha, unit simpan pinjam merupakan usaha yang paling potensial digarap koperasi, dan dengan menangani secara khusus maupun sebagai unit usaha. Bahkan koperasi yang bertengger di urutan pertama yaitu Kospin Jasa Pekalongan merupakan koperasi yang mengkhususkan diri di usaha simpan pinjam. Lima koperasi simpan pinjam lainnya menemani Kospin Jasa di 10 besar.

Kospin Jasa Pekalongan, bisa saja merepresentasikan kejayaan koperasi simpan pinjam, tetapi juga bisa disebut icon kebesaran koperasi di Indonesia, dengan volume usahanya yang mencapai Rp 5 triliun lebih. Jika dibandingkan dengan asetnya yang berjumlah 1, 24 triliun rupiah, Kospin Jasa terbilang produktif untuk ukuran perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan.

Koperasi fungsional termasuk dalam deretan paling banyak yang masuk dalam 100 koperasi. Koperasi jenis ini umumnya memang didukung oleh keanggotaan yang solid. Namun, di masa lalu, perkembangan koperasi fungsional sering terhenti pada tingkat tertentu, karena wilayah kerjanya yang sangat terbatas. Sekarang, banyak koperasi fungsional yang mampu mendobrak keterbatasan tersebut. Dengan memperluas jangkauan bisnisnya terutama dengan mengembangkan bisnis di luar simpan pinjam.

Keberadaan Koperasi Warga Semen Gresik (KWSG) diurutan kedua dalam daftar 100 koperasi besar, adalah indikasi yang bisa merepresentasikan kejayaan koperasi fungsional di tanah air. Di daftar 10 besar , koperasi fungsional juga menempatkan tiga wakil lainnya, yaitu Koperasi PT Indosat, Kopkar Astra dan koperasi Denma Mabes TNI AU. Koperasi di lingkungan pegawai negeri (KP-RI) pun banyak yang berhasil masuk urutan 100 besar, posisi tertinggi ditempati KP-RI Raung di Jawa Timur, yang mencetak omzet Rp 62,55 miliar.

Menarik juga dicermati, koperasi berbasis profesi pun menunjukkan indikasi perkembangan yang cukup menjanjikan, meskipun hanya menempatkan satu wakil-nya di 100 besar, yaitu Koperasi Jasa Kelistrikan Jawa Timur. Koperasi jenis ini sebetulnya mempunyai potensi cukup tinggi, seiring dengan perkembangan organisasi profesi di Tanah Air, misalnya ada koperasi yang khusus menghimpun perawat bahkan artis. Boleh jadi kelak akan berkembang koperasi dokter, koperasi wartawan, dan sebagainya. Sayangnya sosialisasi koperasi jenis ini masih minim.

Koperasi-koperasi tersebut, tentu saja dikategorikan sebagai ‘konglomerat’. Selain omzet miliaran rupiah, bisnis mereka merambah banyak bidang usaha. Kopindosat (Koperasi PT Indosat), misalnya, memiliki bidang usaha seperti: distribusi kartu telekomunikasi, konstruksi infrastruktur telekomunikasi, property dan lisensi, jasa boga (catering, cafe, toko), jasa penyewaan, marketing and advertising tools, ekspedisi, perdagangan, simpan pinjam, alih daya, dan tours and travel.

Namun, koperasi Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan kemajuan koperasi di banyak negara. Berdasarkan laporan ICA Global 300 yang dikeluarkan oleh International Co-operative Alliance, belum pernah satu pun koperasi Indonesia masuk kelompok 300 koperasi berkelas dunia. Dalam laporan ICA Global 300 tahun 2010, ada tujuh negara Asia yang masuk 300 koperasi terbesar di dunia, yaitu Jepang, India, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Cina, dan Taiwan.

Sungguh ironis, padahal Indonesia adalah anggota ICA dengan jumlah anggota koperasi 31 juta, terbesar ke-4 di dunia setelah India (239 juta), AS (78 juta), dan Jepang (42 juta). Dengan jumlah penduduk 240 juta orang dan dukungan pemerintah yang tak pernah henti, koperasi Indonesia sangat potensial untuk menembus deretan elit koperasi dunia. Yang dibutuhkan cuma dukungan nyata pemerintah berupa regulasi dan kebijakan komprehensif yang memberi ruang gerak koperasi agar bisa bertumbuh dan berkembang menjadi besar. Kehadiran koperasi-koperasi berskala konglomerat dapat mengimbangi dominasi konglomerasi korporasi swasta maupun BUMN, dan pada gilirannya koperasi benar-benar menjadi sokoguru perekonomian nasional dalam era pasar bebas masa kini.

Bernhard Limbong
Master Hukum Bisnis dan Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Bandung
Sumber:
http://suar.okezone.com/read/2012/04/23/58/616459/globalisasi-dan-konglomerasi-koperasi-bagian-i

No comments: