Monday, July 26, 2010

TATA NIAGA GULA

TATA NIAGA GULA
Kebijakan Pemerintah Dipertanyakan

Rabu, 14 Juli 2010
JAKARTA (Suara Karya): Kisruh dalam distribusi gula putih dan gula rafinasi terus terjadi akibat ketidakjelasan implementasi tata niaga gula.

Gula termasuk salah satu komoditas dalam pengawasan sehingga produksi, perdagangan, hingga distribusinya berdasarkan ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Terdapat sejumlah aturan yang menjadi payung hukum, seperti Undang-Undang No 8/1962 tentang Perdagangan Barang dalam Pengawasan beserta Peraturan Pemerintah No 11/1962 sebagai petunjuk pelaksananya. Selain itu, ada Keputusan Presiden No 57/2004 serta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 527/2004.

Demikian dikatakan Ketua Komite Tetap Bidang Perdagangan dan Distribusi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia M Natsir Mansyur di Jakarta, Selasa (13/7). Pernyataan ini terungkap dalam rapat tentang optimalisasi pengawasan distribusi gula. Hadir pada rapat itu perwakilan dari Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, BUMN gula, Perum Bulog, pedagang, dan pihak terkait lainnya.

Menurut Natsir Mansyur, dalam tata niaga diatur mengenai peruntukan gula putih dan gula rafinasi. Dalam hal ini, gula putih sebagai gula konsumsi yang dijual untuk masyarakat umum di pasaran. Sementara, gula rafinasi hanya boleh dijual kepada industri atau paling minim usaha kecil dan menengah (UKM).

Namun kenyataannya, gula rafinasi juga dijual untuk khalayak umum di pasaran, bahkan dengan harga yang jauh lebih murah dari gula putih yang diproduksi petani dengan BUMN gula, seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). Kenyataan ini sudah membuat petani dan produsen gula putih nasional mengalami kerugian akibat tergerusnya pangsa pasar.

Padahal dalam periode satu tahun, hanya bisa satu kali petani melakukan panen tebu dan industri untuk mengolahnya menjadi gula. Sementara, produsen gula rafinasi bisa terus-menerus berproduksi sepanjang tahun karena bahan bakunya (gula mentah/raw sugar) bisa diimpor sepanjang tahun. Tak pelak, produsen gula rafinasi bisa berproduksi sesuai keinginan tanpa harus melihat kebutuhan industri atau UKM di sektor makanan dan minuman.

"Kasus perembesan gula rafinasi ke pasaran sudah ditemukan di sejumlah daerah. Jika ditanyakan ke produsen gula rafinasi, tidak ada yang mengaku. Ini karena mereka menjual ke distributor. Sementara, distributor atau agen gula rafinasi juga tidak ada yang ditindak," kata Natsir Mansyur.

Untuk itu, pemerintah harus memperketat pengawasan distribusi gula putih dan rafinasi. Sebab, perembesan gula rafinasi untuk industri ke pasaran umum telah merugikan pelaku industri dan pedagang gula putih.

"Pengawasan memang sudah dilakukan, tapi kurang efektif, perlu dioptimalkan. Kami minta polisi dan aparat terkait bisa meningkatkan efektivitas dalam pengawasan. Kunci dari masalah perdagangan atau distribusi gula putih dan rafinasi ini adalah penegakan hukum," tuturnya.

Terkait hal ini, menurut dia, Kadin Indonesia akan membentuk tim pengawas. Ini dilakukan untuk membantu pemerintah mengawasi penyaluran gula rafinasi ke industri dan gula putih konsumen.

"Kami akan membentuk tim pengawasan internal untuk membantu pengawasan. Siapa saja, termasuk aparat pemerintah atau perwakilan BUMN, bisa bergabung dalam tim ini," ucap Natsir yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti).

Pengawasan

Menanggapi hal ini, Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Kementerian Perdagangan Inayat Iman mengatakan, pengawasan penyaluran gula, termasuk rafinasi, yang selama ini dilakukan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dibantu aparat penegak hukum, baik di pusat maupun di daerah, sudah memadai. "Kami sudah mengirimkan surat agar PPNS memantau dan mengawasi peredarannya (gula rafinasi) di pasaran. Laporan yang masuk tak ada yang beredar di pasar," katanya.

Namun, hal ini dibantah Natsir Mansyur yang mengungkapkan bahwa gula rafinasi--yang menurut ketentuan hanya boleh dijual ke industri dan UKM--justru mendominasi di pasar-pasar tradisional antara lain di Jawa, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Sumatera. Gula rafinasi itu dijual dengan harga lebih murah daripada harga gula putih.

"Pedagang beli dengan Rp 9.300 per kilogram (gula impor dan dari PTPN/RNI), tapi terpaksa harus jual dengan harga Rp 8.900 per kilogram. Ini karena gula rafinasi di dalam negeri dijual dengan harga Rp 8.900 per kilogram dan bahkan kemudian banting harga lagi menjadi Rp 8.700 per kilogram. Kalau begini terus, kami terpaksa menyimpan barang," katanya.

Pada kesempatan yang sama, perwakilan Perum Bulog menyatakan, pengawasan distribusi gula tidak sulit karena sudah ada ketentuan berdasarkan spesifikasi. Peluang perembesan gula rafinasi diperkirakan saat penyaluran untuk industri skala kecil dan rumah tangga. Ini karena mereka bisa menggunakan gula kristal maupun gula rafinasi.

"Ada spesifikasi, jadi mudah. Gula rafinasi untuk industri besar, menengah, dan industri kecil rumah tangga. Sedangkan gula putih untuk konsumsi. Potensi perembesan sebenarnya dari industri kecil dan menengah. Jadi kalau ada konsistensi pengawasan, pasti bisa dicegah. Bisa diperiksa distribusi dari produsen gula rafinasi ke distributor dan dilanjutkan ke UKM," katanya.

Menurut dia, untuk mencegah perembesan gula rafinasi ke pasar konsumsi, sebaiknya penyaluran gula untuk industri kecil dan menengah dilakukan melalui satu pintu. Ini berarti penjualan gula rafinasi ke UKM tidak bisa dilakukan sembarangan, baik oleh produsen maupun distributor.

Di sisi lain, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) mengkhawatirkan kekurangan pasokan gula karena produksi gula nasional tahun ini diperkirakan menurun. Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman mengatakan, kebutuhan gula untuk industri dan konsumsi tahun ini sekitar 5 juta ton.

Sementara, produksi gula yang tahun lalu 2,7 juta ton diperkirakan turun jadi 2,1 juta ton tahun ini. Kalau ditambah dengan realisasi impor tahun ini dan sisa impor tahun lalu, total gula yang ada hanya 4,3 juta ton. Jadi, kurang dari 700.000 ton.

Meski sementara ini pasokan gula untuk industri masih aman karena industri gula rafinasi masih memiliki stok, Adhi menyarankan pemerintah mempersiapkan mekanisme izin impor gula, khususnya untuk gula mentah sekitar 700.000 ton. Ini guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekurangan pasokan gula dari dalam negeri. (Andrian)

sumber:
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=257427

No comments: