Masalah gula akhir-akhir ini mencuat kembali menjadi pembicaraan dengan direncanakannya Bulog akan ditunjuk mengelola buffer stock gula. Mengapa gula selalu menjadi gunjang ganjing dalam kehidupan kita? Produksi gula nasional hanya mencukupi kurang lebih 50-60% kebutuhan dalam negeri yang berjumlah kurang lebih 3,1 juta ton. Sisanya harus dipenuhi dengan impor. Jadi impor gula inilah yang jadi rebutan.
Di era Orde Baru perdagangan gula dimonopoli oleh Bulog. Tetapi pelaksanaan impor diklakukan oleh segelintir pengusaha yang ditujuk Bulog, sedang harga beli gula oleh Bulog dari PTPN dan petani ditentukan oleh pemerintah. Dan harga penjualan oleh Bulog ditetapkan juga oleh pemerintah. Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang diterapkan mulai tahun 1975, telah memisahkan industri gula dari penanaman tebu. Pabrik gula PTPN tidak lagi memiliki kebun tebu. Tebu dipasok oleh petani dengan bagi hasil sesuai rendemen. Jumlah areal sawah yang ditanami tebu dirundingkan antara pabrik gula, petani dan aparat daerah. Hal ini berlaku terutama di Jawa. Petani dan pabrik gula hanya merupakan bagian dari sistem monopoli Bulog. Petani tidak bisa menikmati kalau harga gula dipasar internasional sedang naik, tapi juga petani tidak rugi kalau harga sedang rendah.
Memasuki era reformasi pada tahun 1998/1999 harga gula internasional cukup tinggi. Pemerintah menghapus monopoli Bulog, pabrik gula PTPN dan petani dapat menjual gulanya secara bebas. Impor gula dibebaskan dan dapat dilaksanakan oleh importir umum (IU). Pada waktu itu produsen dalam negeri merasa senang dengan kebijakan yang baru. Harga gula internasional kemudian turun drastis, seperti sekarang ini, produsen gula mulai mengeluh. Pemerintah mendapat tekanan untuk memproteksi industri gula. Harga gula yang rendah mempengaruhi penghasilan petani tebu yang didasarkan atas bagi hasil. Pemerintah memberlakukan bea masuk yang tinggi. Disparitas harga internasional dengan harga didalam negeri yang diproteksi, memicu usaha penyelundupan. Kita ternyata belum mampu mengawasi dan menghindarkan berbagai cara penyelundupan. Keadaan demikian berulang setiap harga gula dipasar internasional turun.
Pabrik gula di Jawa sudah lama tidak efisien, berskala kecil dan dengan teknologi yang ketinggalan. Tebu bukan komoditi yang dapat diperdagangkan bebas. Rendemen tebu sangat dipengaruhi oleh waktu penebangan dan waktu penggilingan. Tebu hanya menguntungkan kalau dipakai atau dibeli oleh pabrik gula yang lokasinya dekat. Saat ini hubungan antara petani dan pabrik gula berbentuk monopsoni.
Dalam era reformasi, dengan ditiadakannya program TRI, petani sebetulnya mempunyai kebebasan untuk menanam komoditi yang paling menguntungkan baginya. Jadi kenapa petani harus mengeluh, tidak ada keharusan menanam tebu, mereka mempunyai kebebasan menanam apa saja. Ini demokrasi.
Jadi masalahnya dimana?
Pabrik gula di Jawa sangat tergantung dengan pasokan tebu yang berasal dari petani. Jadi pabrik gulalah yang paling berkepentingan untuk memberikan proteksi terhadap gula, agar petani masih bergairah menanam tebu. Mereka inilah yang akan terus memperjuangkan atas nama petani tebu agar petani masih untung dengan menanam tebu dan berarti pabrik gulanya masih bisa beroperasi.
Lain halnya dengan pabrik gula diluar Jawa, seperti Lampung dan Gorontalo. Mereka memiliki lahanya sendiri dan pabrik yang modern, efisien dan dengan kapasitas yang besar. Tanpa proteksipun mereka dapat bersaing dengan harga internasional. Dengan demikian kebijakan yang memberikan proteksi produksi gula di Jawa, juga didukung oleh pabrik gula diluar Jawa, karena memberikan keuntungan berlipat (wind fall) bagi produsen gula diluar Jawa.
Rebutan jadi importir
Dalam jangka menengah ini Indonesia tetap membutuhkan impor gula sekurang-kurangnya 1,5 juta ton setiap tahun. Mengatasi gejolak harga gula dan penyelundupan pemerintah cq. Departemen Perindustrian dan Perdagangan telah menetapkan PTP dan RNI sebagai importir terdaftar. Harga gula ditingkat konsumen terus meningkat. Tapi gula digudang-gudang cukup banyak. Jadi masalahnya adalah distribusi. Sewaktu Bulog memonopoli gula dan terigu, distribusi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam APEGTI (Asosiasi Penyalur Gula dan Terigu), merekalah yang mempunyai jaringan distribusi. Dengan tidak adanya monopoli Bulog, APEGTI membubarkan diri. Tapi tentu perusahaan-perusahaannya masih ada.
Jadi jelas masalahnya bukan impor gula. Business impor gula tetap menguntungkan. Jadi tidak sukar bagi pemerintah, cukup dengan membuka keran impor oleh swasta.
Jadi kenapa impor gula ini harus ditangani pemerintah seperti PTP dan Bulog (nantinya Perum Bulog)? Bukankah ini hanya membebani tanggung jawab keuangan pemerintah?
Sudah saatnya kita mencari jalan keluar dari masalah kronis ini. Masalah utamanya adalah penanganan pabrik gula di Jawa. Perlu adanya pemikiran dan ketetapan yang menyeluruh dengan mempertimbangkan semua yang terlibat (stake holder), petani, pabrik gula di Jawa dan luar Jawa, importir, distributor sampai konsumen.
Di era Orde Baru perdagangan gula dimonopoli oleh Bulog. Tetapi pelaksanaan impor diklakukan oleh segelintir pengusaha yang ditujuk Bulog, sedang harga beli gula oleh Bulog dari PTPN dan petani ditentukan oleh pemerintah. Dan harga penjualan oleh Bulog ditetapkan juga oleh pemerintah. Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang diterapkan mulai tahun 1975, telah memisahkan industri gula dari penanaman tebu. Pabrik gula PTPN tidak lagi memiliki kebun tebu. Tebu dipasok oleh petani dengan bagi hasil sesuai rendemen. Jumlah areal sawah yang ditanami tebu dirundingkan antara pabrik gula, petani dan aparat daerah. Hal ini berlaku terutama di Jawa. Petani dan pabrik gula hanya merupakan bagian dari sistem monopoli Bulog. Petani tidak bisa menikmati kalau harga gula dipasar internasional sedang naik, tapi juga petani tidak rugi kalau harga sedang rendah.
Memasuki era reformasi pada tahun 1998/1999 harga gula internasional cukup tinggi. Pemerintah menghapus monopoli Bulog, pabrik gula PTPN dan petani dapat menjual gulanya secara bebas. Impor gula dibebaskan dan dapat dilaksanakan oleh importir umum (IU). Pada waktu itu produsen dalam negeri merasa senang dengan kebijakan yang baru. Harga gula internasional kemudian turun drastis, seperti sekarang ini, produsen gula mulai mengeluh. Pemerintah mendapat tekanan untuk memproteksi industri gula. Harga gula yang rendah mempengaruhi penghasilan petani tebu yang didasarkan atas bagi hasil. Pemerintah memberlakukan bea masuk yang tinggi. Disparitas harga internasional dengan harga didalam negeri yang diproteksi, memicu usaha penyelundupan. Kita ternyata belum mampu mengawasi dan menghindarkan berbagai cara penyelundupan. Keadaan demikian berulang setiap harga gula dipasar internasional turun.
Pabrik gula di Jawa sudah lama tidak efisien, berskala kecil dan dengan teknologi yang ketinggalan. Tebu bukan komoditi yang dapat diperdagangkan bebas. Rendemen tebu sangat dipengaruhi oleh waktu penebangan dan waktu penggilingan. Tebu hanya menguntungkan kalau dipakai atau dibeli oleh pabrik gula yang lokasinya dekat. Saat ini hubungan antara petani dan pabrik gula berbentuk monopsoni.
Dalam era reformasi, dengan ditiadakannya program TRI, petani sebetulnya mempunyai kebebasan untuk menanam komoditi yang paling menguntungkan baginya. Jadi kenapa petani harus mengeluh, tidak ada keharusan menanam tebu, mereka mempunyai kebebasan menanam apa saja. Ini demokrasi.
Jadi masalahnya dimana?
Pabrik gula di Jawa sangat tergantung dengan pasokan tebu yang berasal dari petani. Jadi pabrik gulalah yang paling berkepentingan untuk memberikan proteksi terhadap gula, agar petani masih bergairah menanam tebu. Mereka inilah yang akan terus memperjuangkan atas nama petani tebu agar petani masih untung dengan menanam tebu dan berarti pabrik gulanya masih bisa beroperasi.
Lain halnya dengan pabrik gula diluar Jawa, seperti Lampung dan Gorontalo. Mereka memiliki lahanya sendiri dan pabrik yang modern, efisien dan dengan kapasitas yang besar. Tanpa proteksipun mereka dapat bersaing dengan harga internasional. Dengan demikian kebijakan yang memberikan proteksi produksi gula di Jawa, juga didukung oleh pabrik gula diluar Jawa, karena memberikan keuntungan berlipat (wind fall) bagi produsen gula diluar Jawa.
Rebutan jadi importir
Dalam jangka menengah ini Indonesia tetap membutuhkan impor gula sekurang-kurangnya 1,5 juta ton setiap tahun. Mengatasi gejolak harga gula dan penyelundupan pemerintah cq. Departemen Perindustrian dan Perdagangan telah menetapkan PTP dan RNI sebagai importir terdaftar. Harga gula ditingkat konsumen terus meningkat. Tapi gula digudang-gudang cukup banyak. Jadi masalahnya adalah distribusi. Sewaktu Bulog memonopoli gula dan terigu, distribusi dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam APEGTI (Asosiasi Penyalur Gula dan Terigu), merekalah yang mempunyai jaringan distribusi. Dengan tidak adanya monopoli Bulog, APEGTI membubarkan diri. Tapi tentu perusahaan-perusahaannya masih ada.
Jadi jelas masalahnya bukan impor gula. Business impor gula tetap menguntungkan. Jadi tidak sukar bagi pemerintah, cukup dengan membuka keran impor oleh swasta.
Jadi kenapa impor gula ini harus ditangani pemerintah seperti PTP dan Bulog (nantinya Perum Bulog)? Bukankah ini hanya membebani tanggung jawab keuangan pemerintah?
Sudah saatnya kita mencari jalan keluar dari masalah kronis ini. Masalah utamanya adalah penanganan pabrik gula di Jawa. Perlu adanya pemikiran dan ketetapan yang menyeluruh dengan mempertimbangkan semua yang terlibat (stake holder), petani, pabrik gula di Jawa dan luar Jawa, importir, distributor sampai konsumen.
Rahardi Ramelan
Ahli Peneliti Utama BPPT
Guru Besar ITS, Surabaya
Sumber:
http://www.leapidea.com/presentation?id=53
3 comments:
hey thx dah mampir :)
gwbosen.bogspot.com
kalo aj dsini ad yb beli bajuku :)
bajuqueen.blogspot.com
mksih
Raini Munti, untuk sementara ku belum bisa beli baju
Post a Comment