Hitung-hitung ikut menyebarkan berita mengenai petani tebu, agar para petani tebu bisa berhitung untuk meneruskan usaha pertanianya dengan penuh kehati-hatian dan keseriusan. Karena nasib mereka tergantung pada usaha mereka sendiri.
Ada berita dari inilah.com disajikan dibawah ini, semoga bermanfaat.
Ekonomi
26/10/2008 - 10:50
Nasib Petani Tebu Kian Terpuruk
Budi Winoto
INILAH.COM, Jakarta – Konsumsi gula nasional merosot 20-30% sepanjang tahun ini terimbas pelemahan daya beli konsumen. Hal ini menambah penderitaan petani dan pabrik gula tebu yang selama ini kelangsungannya juga digerogoti kehadiran gula rafinasi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti), Natsir Mansyur mengatakan daya beli masyarakat saat ini memang melemah karena terpengaruh krisis global. Namun gula rafinasi yang masih banyak beredar di pasaran menyebabkan produksi gula nasional tahun ini menjadi tersendat.
“Gula memang bukan komoditas utama seperti beras, tapi komoditas kedua. Jadi, orang tidak mengkonsumsi juga tidak apa-apa,” papar Natsir, di Jakarta, Jumat (24/10). Natsir mengatakan tahun ini produksi dan konsumsi gula nasional diperkirakan hanya mencapai 2,3 juta ton. Ini berarti turun 20% hingga 30%.,
Untuk pasokan gula ke industri makanan dan minuman, Natsir memperkirakan akan terjadi penurunan serupa. Penurunan besar akan terjadi dari industri kecil dan menengah. Sedangkan pabrik makanan dan minuman besar, hanya turun tipis.
Saat ini, lanjutnya, tingkat harga eceran gula di pasaran berada di kisaran Rp 6.200 per kiloggram. Bahkan ada yang menjual dengan harga Rp 6.000. Masuknya gula rafiansi yang lebih murah, menyebabkan gula produksi pabrik lokal tidak laku.
“Akibatnya pabrik gula saat ini kelebihan produksi,” katanya. Proyeksi konsumsi gula nasional sebesar 2,3 juta ton itu jauh lebih rendah dari prediksi berbagai kalangan yang menyebutkan kebutuhan nasional rata-rata mencapai 4,2 juta ton setiap tahun.
Merembesnya gula rafinasi ke pasaran sejak lama menggangu gula lokal. Selain merugikan pabrik gula juga merugikan petani tebu. Gula rafinasi yang diimpor industri seharusnya tidak boleh dipasarkan di tingkat eceran.
Namun kenyataannya, gula rafinasi mudah ditemui di supermarket hingga pasar tradisional. Kondisi ini membuat gula petani semakin menumpuk di gudang, karena konsumen lebih memilih gula konsumsi yang lebih putih.
Sedangkan gula selundupan yang banyak masuk dari Malaysia, kata Natsir tidak berpengaruh besar pada gula nasional. Penyelundupan gula akibat disparitas harga antara Malaysia dan Indonesia itu hanya kasuistis saja dan jumlahnya tidak terlalu besar.
Tahun lalu berdasarkan data Sucofindo, kebutuhan gula rafinasi industri makanan dan minuman menengah besar sekitar 1 juta ton per tahun. Kebutuhan ini belum dapat dipenuhi lima industri gula rafinasi lokal yang ada.
Industri gula rafinasi lokal hanya mampu memenuhi 330 ribu ton, sedangkan 670 ribu ton masih harus di impor. Hal itu disebabkan industri gula rafinasi lokal belum semuanya dapat membuat gula rafinasi dengan ICUMSA di bawah 45, yaitu standar kualitas gula rafinasi yang dibutuhkan industri makanan dan minuman.
Total produksi gula rafinasi nasional sekitar 2,7 juta ton per tahun dihasilkan oleh 5 perusahaan (PT Angles Product, PT Jawa Manis, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Permata Dunia Sukses Utama dan PT Dharmapala Usaha Sukses ) tidak terserap seluruhnya oleh pasar industri makanan dan minuman. Hal itu terkait masalah kualitas dan kelangsungan supplai. Namun untuk diekspor harga dan kualitasnya tidak kompetitif. [E1]
http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2008/10/26/57441/nasib-petani-tebu-kian-terpuruk/
Ada berita dari inilah.com disajikan dibawah ini, semoga bermanfaat.
Ekonomi
26/10/2008 - 10:50
Nasib Petani Tebu Kian Terpuruk
Budi Winoto
INILAH.COM, Jakarta – Konsumsi gula nasional merosot 20-30% sepanjang tahun ini terimbas pelemahan daya beli konsumen. Hal ini menambah penderitaan petani dan pabrik gula tebu yang selama ini kelangsungannya juga digerogoti kehadiran gula rafinasi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti), Natsir Mansyur mengatakan daya beli masyarakat saat ini memang melemah karena terpengaruh krisis global. Namun gula rafinasi yang masih banyak beredar di pasaran menyebabkan produksi gula nasional tahun ini menjadi tersendat.
“Gula memang bukan komoditas utama seperti beras, tapi komoditas kedua. Jadi, orang tidak mengkonsumsi juga tidak apa-apa,” papar Natsir, di Jakarta, Jumat (24/10). Natsir mengatakan tahun ini produksi dan konsumsi gula nasional diperkirakan hanya mencapai 2,3 juta ton. Ini berarti turun 20% hingga 30%.,
Untuk pasokan gula ke industri makanan dan minuman, Natsir memperkirakan akan terjadi penurunan serupa. Penurunan besar akan terjadi dari industri kecil dan menengah. Sedangkan pabrik makanan dan minuman besar, hanya turun tipis.
Saat ini, lanjutnya, tingkat harga eceran gula di pasaran berada di kisaran Rp 6.200 per kiloggram. Bahkan ada yang menjual dengan harga Rp 6.000. Masuknya gula rafiansi yang lebih murah, menyebabkan gula produksi pabrik lokal tidak laku.
“Akibatnya pabrik gula saat ini kelebihan produksi,” katanya. Proyeksi konsumsi gula nasional sebesar 2,3 juta ton itu jauh lebih rendah dari prediksi berbagai kalangan yang menyebutkan kebutuhan nasional rata-rata mencapai 4,2 juta ton setiap tahun.
Merembesnya gula rafinasi ke pasaran sejak lama menggangu gula lokal. Selain merugikan pabrik gula juga merugikan petani tebu. Gula rafinasi yang diimpor industri seharusnya tidak boleh dipasarkan di tingkat eceran.
Namun kenyataannya, gula rafinasi mudah ditemui di supermarket hingga pasar tradisional. Kondisi ini membuat gula petani semakin menumpuk di gudang, karena konsumen lebih memilih gula konsumsi yang lebih putih.
Sedangkan gula selundupan yang banyak masuk dari Malaysia, kata Natsir tidak berpengaruh besar pada gula nasional. Penyelundupan gula akibat disparitas harga antara Malaysia dan Indonesia itu hanya kasuistis saja dan jumlahnya tidak terlalu besar.
Tahun lalu berdasarkan data Sucofindo, kebutuhan gula rafinasi industri makanan dan minuman menengah besar sekitar 1 juta ton per tahun. Kebutuhan ini belum dapat dipenuhi lima industri gula rafinasi lokal yang ada.
Industri gula rafinasi lokal hanya mampu memenuhi 330 ribu ton, sedangkan 670 ribu ton masih harus di impor. Hal itu disebabkan industri gula rafinasi lokal belum semuanya dapat membuat gula rafinasi dengan ICUMSA di bawah 45, yaitu standar kualitas gula rafinasi yang dibutuhkan industri makanan dan minuman.
Total produksi gula rafinasi nasional sekitar 2,7 juta ton per tahun dihasilkan oleh 5 perusahaan (PT Angles Product, PT Jawa Manis, PT Sentra Usahatama Jaya, PT Permata Dunia Sukses Utama dan PT Dharmapala Usaha Sukses ) tidak terserap seluruhnya oleh pasar industri makanan dan minuman. Hal itu terkait masalah kualitas dan kelangsungan supplai. Namun untuk diekspor harga dan kualitasnya tidak kompetitif. [E1]
http://www.inilah.com/berita/ekonomi/2008/10/26/57441/nasib-petani-tebu-kian-terpuruk/
No comments:
Post a Comment